![]() |
RILIS KAJIAN
HARI TANI 2019
Selasa, 24 September 2019. Hari Tani Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 September merupakan hari lahirnya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, yang mengatur tentang dasar-dasar
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria Nasional di Indonesia
yang juga merupakan momentum kebangkitan kaum tani di seluruh Indonesia, sebagaimana
ditetapkan melalui Keputusan Presiden Soekarno Nomor 169 tahun 1963. Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) membawa cita-cita untuk mengangkat harkat penghidupan kaum petani serta
mengamanatkan terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia
melalui pelaksanaan reforma agrarian.
Reforma Agraria sejati penting diwujudkan bagi kaum petani secara khusus dan rakyat
Indonesia secara umum karena selama ini rakyat tidak lagi memiliki kedaulatan atas sumber daya
alam terutama di bidang pertanian. Dengan adanya penetapan satu hari khusus bagi kaum petani
dalam tatanan kalender nasional menandakan pentingnya peran petani sebagai tulang
punggung bangsa. Namun kemudian hal ini hanya menjadi sebuah perayaan yang hanya
memunculkan keprihatinan daripada kebanggaan, melihat kondisi petani Indonesia pada saat
ini. Liberalisasi sumber daya alam yang dibuktikan dengan munculnya berbagai produk hokum
sektoral semakin menjauhkan dari cita – cita terwujudnya reforma agrarian yang sejati. TAP MPR
No. IX Tahun 2001 yang bertujuan untuk menselaraskan produk – produk hokum sectoral lainnya
dengan UUPA masih lumpuh. Walhasil, ketimpangan kepemilikan lahan dan konflik agrarian
masih terus terjadi di berbagai wilayah Indonesai. Rakyat yang lemah akan selalu berbenturan
dengan para pemodal dan pengusaha bahkan Negara yang seharusnya melindungi dan membawa
kepentingan masyarakat, dinilai lebih berpihak kepada korporasi – korporasi besar melalui
kebijakan – kebijakannya dan juga tak jarang Negara lah menjadi biabg kerok konflik tersebut.
Terbaru, Pemerintah bersama DPR RI gencar membahas Rancangan Undang Undang (RUU)
Pertanahan yang dianggap sebagai jalan untuk melengkapi, menafsirkan, dan menjadi jembatan
untuk meminimalkan ketidakharmonisan antara UUPA dan peraturan sumber daya alam lainnya,
serta sebagai jawaban atas persoalan dan konflik agraria yang terjadi, dan untuk upaya mengatasi
berbagai permasalahan pengelolaan tanah yang saat ini terjadi malah sebenarnya membelakangi
semangat reforma agraria sejati.
Walaupun Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan menginstruksikan penundaan
pengesahan RUU Pertanahan ini, tindakan tersebut bukanlah sebuah solusi. Pemerintah dan DPR
RI haruslah melakukan pembahasan ulang, mendengarkan aspirasi – aspirasi keinginan rakyat
kecil termasuk didalamnya adalah petani – petani yang kian hari lahannya semakin mengecil
diserobot oleh korporasi atau bahkan Negara itu sendiri. Beberapa hal yang perlu dibahas ulang
yaitu antara lain; Pertama, Penyelesaikan ketimpangan kepemilikan lahan, menilas balik Reforma
Agraria sejati sendiri sebenarnya adalah bagaimana melakukan penataan ulang struktur agraria
Indonesia dengan cara sistematis dan terstruktur, demi tercapainya masyarakat yang berkeadilan,
sejahtera, serta memiliki prospek kehidupan yang bagus, artinya bagaimana lahan tersebut
menjadi lahan yang produktif untuk penghidupan dirinya. Sayangnya sebamyak 71% kepemilikan
tanah di Indonesia sudah dikuasai Korporasi kehutanan. Dalam aturan RUU Pertanahan, korporasi
besar tersebut dapat berjalan langgeng lebih lama lagi dalam penguasaan lahannya. Betapa tidak
yang dulu seharusnya kepemilikan HGU hanya sampai 75 Tahun, kini dapat diperpanjang hingga
90 Tahun dan tanpa adanya pengaturan luas lahan HGU. RUU Pertanahan juga tidak memuat
mengenai prinsip, tujuan, mekanisme, Lembaga pelaksana, dan pendanaan Negara dalam
menjamin Pelaksanaan Reforma Agraria Sejati
Kedua, RUU Pertahanahan dinilai daapat menghidupkan praktik agrarian zaman kolonial. Hak
Pengelolaan (HPL) atas tanah oleh Negara serupa dengan konsep praktik politik agraria zaman
kolonial Belanda yang bernama Domein Verklaring di mana tanah yang tidak didaftarkan, tanah
tak bertuan, dan tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya akan menjadi milik negara.
Bahkan walaupun dalam pemetaan HPL nanti terdapat masyarakat yang sudah lama mendiami
wilayah tersebut dan tidak dapat membuktikan kepemilikannya maka Negara dengan kekuasaanya
dan instrument yang dimilikinya dapat merampas lahan tersebut. Maka potensi konflik agrarian
yang harusnya diredam malah dinilai akan semangkin meningkat dengan adanya aturan ini.
Ketiga, Penyelesaian Konflik Agraria. Model klasik penyelesaian Konflik Agraria dengan proses
mediasi dan peradilan tidak dapat membawa nilai keadilan bagi masyarakat kecil yang berkonflik
dengan Korporasi besar ataupun Negara itu sendiri. Harusnya RUU Pertanahan meninggalkan
model penyelesaian ini dan memberikan perbaharuan model penyelesain. Salah satunya melalui
pembentukan Badan atau Lembaga Indipenden yang secara structural nanti diisi oleh pihak Aktifis
Reforma Agraria dan Akademisi. Keberadaan Badan atau Lembaga Indipenden tersebut haruslah
diberikan kewenangan mulai dari melakukan penyelidikan hingga memutus konflik tersebut
diluar dari Peradilan Umum. Hal ini dinilai salah satu langkah untuk dapat meredam dan
menyelesaikan konflik agrarian yang terjadi dan dapat membawa nilai keadilan sejati bagi masyarakat kecil. Dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria
sebenarnya sudah dibentuk tim khusus yaitu Tim Reforma Agraria Nasional, namun sayangnya
structural tim tersebut diisi oleh unsur Pemerintahan dan hanya diberikan untuk pengawasan
Pembagian Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan melakukan mediasi permasalahan konflik
agraria.
Keempat, Tidak Adanya Penghormatan terhadap Tanah Ulayat dan Masyarakat Adat. Jelas sudah,
secara konstitusi kita telah mengakui keberadaan masyarakat adat dan dengan segala hak
tradisionalnya. Hal ini pun diamini oleh UUPA dengan mengakui adanya tanah ulayat. Namun
dalam aturan RUU Pertanahan Tanah Ulayat harus dikukuhkan oleh Instansi Pemerintahan
berbagai lingkup dan tingkatan dalam wilayah tersebut melalui permohonan pengukuhan oleh
masyarakat adat yang dimaksud. Dengan ini dapat dikatakan bahwa RUU Pertanahan bertujuan
untuk mempercepat proses sertifikasi tanah tanpa mempertimbangkan berbagai hal termasuk
keadaan social dan keadaan wilayah tersebut.
Dengan demikian ditengah masih banyaknya permasalahan agraria yang terjadi saat ini, cita-cita
yang disebut “Reforma Agraria Sejati” sesuai amanat UUPA No. 5 Tahun 1960 masih jauh dari
titik wujudnya. Tak salah memang Pemerintah saat ini dalam pengambilan kebijakan mengenai
Reforma Agraria dinilai lebih Pro dengan Korporasi besar daripada masyarakat kecil.
PERJUANGAN REFORMA AGRARIA DI KALIMANTAN SELATAN
Di Kalimantan Selatan, harapan dan tujuan UUPA 1960 belum tercapai. Hal ini ditandai dengan
banyaknya konflik agraria dan sengketa lahan yang terjadi dimasyarakat. Ini dipengaruhi karena
memang karakteristik daerah yang memang memiliki sumber daya alam melimpah dalam sektor
perkebunan, pertambangan dan pertanian, dan sektor inilah yang menjadi sumber dalam
pembangunan daerah. Namun persinggungan antara perusahaan dan masyarakat terkait
kepemilikan lahan menjadi potensi persoalan yang menyertainya, bahkan menyulut potensi konflik
sosial karena kepentingan masyarakat yang ingin mempertahankan lahannya bertabrakan dengan
kepentingan perusahaan yang seringkali mencoba memperluas lahan garapannya. Yang paling
miris adalah tidak sesuainya besaran proses ganti rugi lahan dari perusahaan kepada masyarakat
dan tidak jarang masyarakat mendapat diskriminasi disertai ancaman apabila berusaha untuk tetap
mempertahankan lahannya. Pada akhirnya masyarakat lah yang dirugikan karena selain aktivitas
perusahaan merusak lingkungan, mereka juga menghilangkan sumber penghidupan mereka. Kalimantan Selatan telah membuat Peraturan daerah (Perda) Prov. Kalimatan Selatan No.2 tahun
2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Berkelanjutan. Perda yang dibuat
dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat serta untuk memberikan
perlindungan kepada lahan pertanian di Kalsel ini awalnya patut diapresiasi. Keberadaan Perda ini
juga demi menjamin ketersediaan lahan pertanian daerah. Namun sampai saat ini hal ini belum
diimplementasikan dengan maksimal. Masih banyak lahan-lahan pertanian didaerah yang akhirnya
dialih fungsikan untuk menjadi kawasan perumahan dan perindustrian yang berakibat
berkurangnya lahan untuk garapan pertanian dan dimasa yang akan datang berpotensi mengurangi
produksi pangan daerah. Taraf kehidupan para petani pun masih belum meningkat dan masih jauh
dari kesejahteraan. Ekspansi pemodal masih menjadi momok bagi lahan pertanian di Kalsel. Lahan
pertanian sangat berpotensi untuk terus-menerus berkurang terlebih di Kalsel masifnya pergerakan
sektor yang lain seperti pertambangan, infrastruktur, dan properti besar-besaran dapat mengancam
keberadaan lahan di Kalimantan Selatan. Tanpa ada keseriusan pihak eksekutif dan legislatif, maka
Perda ini peraturan semu tanpa tindak lanjut, dan ketersedian lahan pertanian akan semakin
tergerus.
Dalam penanganan konflik pertanahan, di Kalimantan Selatan juga telah terdapat Perda Prov.
Kalimatan Selatan No.4 tahun 2014 tentang Fasilitasi Penanganan Sengketa Dan Konflik
Pertanahan. Aturan ini kemudian dibuat aturan pelaksananya dalam Peraturan Gubernur Kalsel
Nomor 35 Tahun 2015. Kedua aturan ini dibuat dengan maksud untuk menjamin tercapainya
keadilan dalam sengketa dan konflik lahan yang terjadi di masyarakat. Namun keberadaan aturan
ini tidak menyurutkan konflik agraria yang terjadi di Kalsel. Bahkan dalam penanganan konflik
yang terjadi, tata cara dan mekanisme penanganan yang sudah diatur dalam Perda ini pun terkesan
tidak dijalankan. DPRD dan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang dalam menjalankan usaha
penyelesaian konflik dengan cara kekeluargaan serta musyawarah mufakat terkesan enggan
melaksanakan ketentuan dalam aturan tersebut, hingga akhirnya jalan penyelesaian yang diambil
selalu dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam Perda ini diatur pula mengenai pembentukan tim
khusus yang diamanatkan untuk melaksanakan tahapan dalam memfasilitasi penyelesaian konflik
yang terjadi, namun unsur yang terdapat didalamnya terdiri pejabat daerah yang terkadang
bersinggungan langsung terhadap subjek dari konflik agraria itu sendiri bahkan terdapat konflik
kepentingan langsung. Maka dengan keadaan seperti itu, rekomendasi yang dihasilkan dapat
bersifat subjektif sehingga mendapat ketidakpercayaan masyarakat. Dengan kondisi geografis
wilayah Kalimantan Selatan, dalam menghadapi konflik agraria yang berpotensi menimbulkan
konflik sosial, diperlukan suatu badan khusus dalam menangani permasalahan dimaksud. Badan Reforma Agraria yang terdiri dari pihak yang berkompeten terhadap isu agraria Nasional dan
terbebas dari segala unsur kepentingan, yang diberi tugas untuk menjalankan pembaruan Agraria
di Kalimantan Selatan serta bertanggung jawab dalam menangani konflik agraria yang selaras
dengan amanat UUPA 1960.
Maka dari itu kami Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Se – Kalimantan Selatan
menuntut:
- Tolak RUU Pertanahan dan mendesak Pemerintah Bersama DPR RI segera melakukan pembahasan ulang aturan tersebut dengan membawa aspirasi keinginan serta kepentingan masyarakat kecil.
- Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membentuk Lembaga Independen pelaksana Reforma Agraria dalam upaya Penyelesaian Konflik Agraria dengan menjunjung tinggi nilai berkeadilan.
- Segera tertibkan izin – izin perusahaan perkebunan dan pertanian yang bersinggungan dengan lahan pertanian milik masyarakat serta pembatasan izin perusahaan yang dapat mengganggu hak – hak masyarakat dan lahan pertanian
- Mendesak Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan Menjalankan tugas dan fungsi sesuai amanat Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Berkelanjutan, serta menjamin tersedianya Lahan Pertanian di Kalimantan Selatan
- Melakukan Pendampingan, Pendidikan, Pelatihan, serta bantuan subsidi dalam rangka meningkatkan kompetensi petani di Kalimantan Selatan demi menjaga produktifitas petani serta meningkatkan taraf hidup petani.
Berikut Link berita terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar