Momentum Hari Perempuan Internasional untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik dan sosial, peringatan momentum tersebut hendaknya perempuan tetap memiliki sikap perjuangan yang riil pada situasi saat ini, apabila dikorelasikan dengan gerakan perempuan dalam konteks reforma agraria, tidak bisa dipungkiri sistem patriarki yang masih mengakar di Indonesia masih menempatkan laki-laki lebih dominan dalam hal penguasaan tanah, padahal sejarah mencatat perempuan mempunyai peranan yang penting dalam peradaban dunia, dimulai dari jaman prasejarah dimana yang menemukan sistem bercocok tanam adalah perempuan yang sampai hari ini masih manjadi pola pokok untuk menyambung hidupan manusia, fakta ini membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan dalam mempertahankan kehidupan dan merawat alam.
Kiprah perempuan tani dalam perjuangan perebutan tata kuasa lahan dalam konflik agraria tidak dapat diremehkan, namun adanya konflik agraria ternyata memberikan dampak yang tidak baik terhadap perempuan,
Mari kita tiliki fakta mengenai konflik agraria, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat sepuluh tahun terakhir sejak tahun 2004 sampai dengan 2015 telah terjadi 1774 konflik agraria dengan Luas wilayah konflik 6.942. 381 Ha melibatkan 1.088.817 kk. Hal ini menunjukkan tingginya angka ketimpangan kepemilikan tanah pada pertanian, perkebunan dan kehutanan yang juga membuktikan bahwa pelaksanaan UU No. 5 tahun 1960 masih jauh dari harapan, sebagian besar petani tidak mempunyai tanah dan sebagian besar tanah dikuasai oleh korporasi swasta dan asing, kurang lebih 56 persen aset berupa peroperti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia, sensus pertanian 2013 menunjukkan 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasasi lahan rata-rata 0,98 ha, sebanyak 14,25 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha per keluarga (data ini sebagai gambaran terjadinya ketimpangan penguasaan tanah bagi rakyat), realitas atas konflik agraria yang terjadi hari ini kembali perempuan yang paling merasakan dampak nyata mengingat masih terjadinya domestikfikasi di dalam sebuah keluarga. Tidak terlaksananya reforma agraria bagi kaum perempuan inilah yg menyebapkan pemiskinan terhadap perempuan secara terus menerus. Pengalih fungsian lahan, pertambangan yang dilakukan secara terus menerus. Pengalih fungsian lahan menyebabkan perempuan tergusur dari alat produksinya, sehingga negara akhirnya banyak “mengekspor” buruh migran ke luar negeri, selain itu krisis agraria di desa mengakibatkan perempuan menjadi buruh murah di kota yang dikarenakan ketiadaan akses tanah dan rendahnya teknologi sehingga kelebihan tenaga kerja tersebar di sektor lain, sedangkan kekayaan Indonesia sebagian besar terdiri dan berasal dari hasil pertanian, pentinggnya hasil pertanian Indonesia itu tidak hanya karena menjadi pokok penghidupan rakyat Indonesia sendiri tetapi juga karena hasil-hasilnya sangat dibutuhkan di seluruh dunia.
berdasarkan situasi di atas, maka dalam rangka mempertegas sikap perempuan dalam kerangka reforma agraria, Presidium GMNI menyatakan sikap :
1. Kembalikan fungsi agraria sebagaimana amanat UUD 1945 dan UUPA No. 5 tahun 1960.
2. Laksanakan Land Reform  sebagai perwujudan kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara
3. Hentikan alih fungsi lahan pertanian (produktif) menjadi perumahan untuk menunjang pertambahan penduduk yang memicu “ekspor” buruh migran ke luar negri dan menjauhkan perempuan dari budaya serta alat produksinya (pertanian, nelayan).
Jakarta, 8 Maret 2016
Wasanti
Presidium Komite Pergerakan Sarinah
Sumber : Presidium GMNI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar