Poster Film Sang Kiai |
Peranan kaum santri dalam era revolusi kemerdekaan merupakan fakta sejarah yang tak bisa dibantah. Tak bisa dibantah pula bahwasanya spirit nasionalisme atau kebangsaaan Indonesia turut dibangun oleh komunitas yang berasal dari pesantren tersebut. Hal inilah yang dirangkum oleh sineas Rako Prijanto dalam film garapan terbarunya, Sang Kiai.
Film ini mengetengahkan riwayat juang K.H. Hasyim Asy’ari (diperankan oleh aktor Ikranegara), seorang tokoh ulama besar negeri ini sekaligus pendiri organisasi Islam terbesar Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), sejak era pendudukan Jepang hingga wafatnya beliau di masa revolusi kemerdekaan.
Prolog film ini mengilustrasikan suasana pondok pesantren (Ponpes) Tebuireng di Jombang, Jawa Timur, tahun 1942. Digambarkanlah bahwa saat itu K.H.Hasyim Asy’ari tidak hanya menerima santri dari kalangan ningrat untuk ‘mondok’ di Ponpesnya, melainkan juga santri dari kalangan miskin yang tak mampu membayar biaya hidup selama di Ponpes.
Sang Kyai juga menekankan pentingnya kemandirian pesantren dalam hal ekonomi, demi independensi dan kemaslahatan pesantren tersebut. Maka, Tebuireng pun mengupayakan pencarian pendapatan serta pasokan pangan melalui kegiatan bertani dan berdagang, yang seringkali dilakoni sendiri oleh K.H.Hasyim Asy’ari.
“Bila kita turut bekerja bersama petani, maka kita pun bisa berempati pada mereka,” ujarnya seperti yang terkutip di film berdurasi 135 menit itu.
Tak lama kemudian, Jepang menguasai Indonesia yang kala itu bernama Hindia Belanda. Pada awalnya, kedatangan Jepang disambut, tetapi kemudian dibenci. Begitulah respon masyarakat Indonesia terhadap kehadiran Jepang di nusantara.
Penangkapan para ulama yang menolak ‘Seikerei’ (menghormat pada Dewa Matahari menurut agama Shinto) pun gencar dilakukan Jepang, termasuk terhadap para ulama NU. Dan akhirnya, Ponpes Tebuireng pun tak luput dari sasaran militer Jepang. Dengan brutal, para tentara Jepang yang dipimpin seorang perwiranya memasuki Ponpes Tebuireng untuk menangkap Kyai Hasyim.
Tuduhan menggerakan kerusuhan di Cukir pun dilekatkan pada sang Kyai. Resistensinya terhadap ‘Seikerei’ juga menjadi alasan bagi pihak Jepang untuk menyiksa K.H. Hasyim Asy’ari. Kyai Hasyim memang menolak keras ‘Seikerei’ karena dianggap menodai aqidah Islam yang dianutnya. “Untuk urusan aqidah, tak ada kompromi,” tegasnya.
Berbagai upaya yang dilakukan santri Tebuireng gagal untuk membebaskan Kyai Hasyim. Hingga pada akhirnya, putra tertua Kyai Hasyim, yakni Wahid Hasyim (diperankan Agus Kuncoro), yang juga tiada lain adalah ayahanda dari K.H.Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menemui pimpinan militer Jepang di Jakarta dengan ditemani seorang ulama NU, K.H.Wahab Hasbullah. Di Jakarta, mereka menemui Hamid Ono, seorang perwira Jepang muslim.
Berkat lobi Hamid Ono, pimpinan pemerintahan pendudukan Jepang sepakat untuk membebaskan K.H.Hasyim Asy’ari. Kebebasan Kyai Hasyim bukan tanpa syarat. Jepang meminta beliau dan juga para ulama lainnya ikut serta dalam ‘Pelatihan Kyai’ yang bertujuan untuk ‘mencetak’ ulama yang akan membantu pemerintah Jepang melawan pihak Sekutu dalam Perang Pasifik.
Selain itu, Kyai Hasyim juga diminta berpropaganda melalui khutbah di masjid-masjid agar rakyat mau melipatgandakan hasil buminya demi kepentingan Jepang. Meski dengan beragam syarat pula, Kyai Hasyim pun menyanggupi untuk bekerjasama dengan pihak Jepang.
Disinilah awal dari konflik sang Kyai dengan salah satu santrinya, Harun (tokoh fiksi yang diperankan Adipati Doelken). Harun menilai, Kyai Hasyim dan Tebuireng telah berpihak pada pemerintah Jepang. Fase ini juga yang mungkin mencuatkan kontroversi dari sosok Kyai Hasyim, seperti halnya kontroversi tiada usai dari taktik kooperatif yang dilakoni para pendiri bangsa lainnya seperti Bung Karno dan Bung Hatta pada masa pendudukan Jepang.
Dalam film ini, juga dikisahkan mengenai pembentukan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan restu pemerintah Jepang. Kyai Hasyim dipercaya oleh Jepang untuk memimpin perhimpunan yang beranggotakan para ulama dan tokoh Islam dari berbagai latar belakang organisasi ini. Masyumi sendiri dibentuk Jepang sebagai pengganti dari Majelis Islam A’la Indonesia, dengan tujuan memobilisasi umat Islam Indonesia guna membantu Jepang melawan Sekutu.
Kyai Hasyim kembali mendapat kritikan dari Harun ketika diperhadapkan dengan kasus pemberontakan K.H. Zaenal Mustofa di Singaparna, Tasikmalaya, pada tahun 1944. Perlawanan yang berujung pada eksekusi mati Kyai Zaenal di Ancol itu dianggap oleh Harun sebagai buah dari sikap ‘abu-abu’ Kyai Hasyim terhadap Jepang.
Disamping kontroversi, adapula kontribusi Kyai Hasyim di era Jepang yang sangat bermanfaat bagi revolusi kemerdekaan pasca Proklamasi, yakni gagasan pembentukan Laskar Hizbullah. Pembentukan laskar yang beranggotakan para santri dari berbagai Ponpes ini sebenarnya merupakan instruksi dari pemerintah Jepang guna memobilisir kaum muda santri secara militer untuk diterjunkan ke medan perang di Burma.
Namun, Kyai Hasyim menampik permintaan Jepang tersebut. Ia menginginkan agar anggota Laskar Hizbullah ditempatkan di Indonesia serta berfungsi untuk menjaga kedaulatan Indonesia dari serangan asing, termasuk Sekutu. Jepang pun menyetujui permintaan ini.
Pasca Proklamasi kemerdekaan, Laskar Hizbullah memegang peranan yang tidak kecil dalam revolusi kemerdekaan. Laskar rakyat ini turut bahu membahu bersama dengan TNI (dahulu TKR) serta laskar rakyat lainnya dalam berbagai peristiwa pertempuran, termasuk pertempuran Surabaya 1945 seperti yang dikisahkan dalam film ini.
“Kini saya baru menyadari, gagasan Kyai Hasyim membentuk Hizbullah itu ternyata benar,” demikian pernyataan Harun, yang merefleksikan koreksinya terhadap sikapnya dahulu yang mencemooh sikap Kyai Hasyim untuk membentuk Hizbullah bersama Jepang.
Sinergi Nasionalisme Dan Agama
Point penting dalam film ini adalah upaya sang sutradara untuk menyatukan nilai-nilai kebangsaan serta agama yang sejatinya sangat sinergis ketika masa perang kemerdekaan. Hal ini tampak dari Fatwa ‘legendaris’ dari Kyai Hasyim pada bulan September 1945 yang berisi pernyataan bahwa berjihad demi Negara untuk melawan penjajah hukumnya adalah fardu a’in.Fatwa ini merupakan ‘buah’ dari permintaan Bung Karno kepada sang Kyai agar mengeluarkan fatwa mengenai hukum membela tanah air dari serangan musuh, sebagai stimulus bagi perjuangan kemerdekaan yang masih berusia ‘hijau’ kala itu.
Demikian juga dengan Resolusi Jihad yang dikeluarkan Kyai Hasyim menjelang pertempuran Surabaya. Sebuah resolusi yang berhasil membakar semangat para pejuang, termasuk Bung Tomo ketika mengangkat senjata melawan Sekutu.
Ketika Belanda melancarkan agresi militer pertamanya di tahun 1947, Jenderal Sudirman kembali meminta pada Kyai Hasyim untuk mengeluarkan resolusi jihad guna membakar semangat pejuang dan rakyat melawan Belanda. Namun, belum sempat resolusi itu disusun, sang Kyai pun menghembuskan nafasnya yang terakhir di kursi beliau, seperti yang divisualisasikan dalam film ini.
Ada dua hal yang menjadi kritik penulis terhadap film yang memakan biaya sebesar Rp 10 Miliar ini. Pertama, alur sejarah yang salah ditampilkan, ketika pidato Bung Tomo dalam menyikapi ultimatum Inggris terhadap rakyat Surabaya di bulan November 1945 ditampilkan terlebih dahulu sebelum visualisasi pertempuran Surabaya 10 November 1945. Dan diantara kedua adegan itu, terselip banyak adegan lain seperti beberapa pertempuran di bulan Oktober 1945 yang diakhiri dengan perjanjian gencatan senjata yang melibatkan Bung Karno dan Sekutu. Hal ini bisa menimbulkan distorsi sejarah, terutama bagi mereka yang tak terlalu mengetahui alur sejarah perjuangan bangsa, sebab pada kenyataannya pidato Bung Tomo itu dikumandangkan tidak lama sebelum Sekutu menggempur Surabaya tanggal 10 November 1945.
Kedua, masih terkait distorsi sejarah, pada bagian akhir film ini tertulis teks yang menyatakan bahwa pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda terjadi pada tanggal 27 September 1949. Hal ini jelas sangat menyalahi sejarah yang sebenarnya, dimana pengakuan kedaulatan Belanda sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar terjadi pada tanggal 27 Desember 1949.
Namun, disamping potensi distorsi tersebut, secara umum film ini sangat baik dari segi kualitas sinematografi dan visualisasi. Salah satu kesulitan dalam pembuatan film sejarah adalah penyesuaian antara kreasi sineas dengan kondisi asli dimasa lalu. Dan menurut penulis, film ini berhasil menanggulangi kesulitan ini.
Disamping itu, adegan-adegan dalam film ini tergolong dinamis dan tidak monoton. Visualisasi peperangan di Surabaya, ketika pesawat-pesawat sekutu membom bardir kota tersebut, juga berhasil ditampilkan ke hadapan mata penonton tanpa harus memperlihatkan ‘rekayasa’ visual yang mencolok.
Dan yang terpenting, tema perjuangan kemerdekaan yang diangkat oleh film ini sangat relevan bila dikaitkan dengan situasi terkini, ketika penjajahan gaya baru kembali mencengkeram negeri ini. Disamping itu, seperti yang telah disinggung sebelumnya, film ini mengungkapkan bahwasanya spirit kebangsaan bukanlah hal yang ‘haram’ bagi agama Islam.
Hal ini tentu berbeda dengan pemahaman para fundamentalis-kosmopolit Islam masa kini yang menanggap nasionalisme merupakan sentimen ‘thogut’ yang tak sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai gantinya, mereka menyodorkan konsep Khilafah yang globalis dan ada juga yang menggugat Pancasila sebagai paham kebangsaan ke MK.
Padahal, mereka sesungguhnya adalah “anak kemarin sore” yang tidak ikut ‘berdarah-darah’ menegakkan kemerdekaan Republik ini. Yang tentu saja berbeda dengan kaum ‘santri sarungan’ NU yang gigih melawan penjajahan dimasa revolusi, sebagaimana tersurat dalam film ini.
Hiski Darmayana, peminat film dan kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
——————————————————————————————–
Sang Kiai (2013)
Sutradara : Rako Prijanto
Tahun Produksi: Mei 2013
Durasi : 135 Menit
Produksi : Rapi Films
Pemain : Ikranegara, Agus Kuncoro, Christine Hakim, Adipati Doelken
Sutradara : Rako Prijanto
Tahun Produksi: Mei 2013
Durasi : 135 Menit
Produksi : Rapi Films
Pemain : Ikranegara, Agus Kuncoro, Christine Hakim, Adipati Doelken
Sumber Artikel: Blog GMNI Sumedang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar