Kedaulatan energi selalu menjadi topik hangat yang diperbincangkan. Di tahun 2013 ini saja telah terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mengakibatkan inflasi naik menjadi 6-7%. Kenaikan harga BBM ini pun meningkatkan harga barang/jasa yang beredar. Alhasil, daya beli dan taraf hidup masyarakat semakin menurun. Ini merupakan preseden buruk bagi bangsa dan negara kita, apabila kita merujuk kepada peristiwa 1998 mengalami krisis moneter. Rakyat tak lagi bertahan menghadapi gempuran kenaikan harga bahan pokok yang tidak disertai dengan peningkatan pendapatan. Aksi demonstrasi, mogok nasional, dsb menuntut jaminan hidup kepada negara tak kunjung terealisasi. Bayangkan itu hanya pada satu aspek, BBM.

Energi menurut para ilmuwan dibagi menjadi energi terbarukan dan energi tak dapat diperbarui. BBM seperti jenis solar, premium, pertamax, avtur, dan minyak tanah adalah bagian energi yang tak dapat diperbarukan. BBM berasal dari sisa fosil makhluk hidup manusia yang selama jutaan tahun lamanya yang mengendap di perut bumi. Ini kemudian banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk menjalankan kegiatan rumah tangga, jasa maupun industri. Jumlah cadangan minyak yang terkandung perut bumi kian menyusut dari jumlah total eksplorasi dan konsumsi migas.

Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengetahui cadangan minyak nasional melalui 2 model. Pertama, dengan membandingkan cadangan migas yang dimiliki Indonesia dengan negara lain. Kedua, dengan membandingkan cadangan yang dimiliki dan diproduksi dengan tingkat konsumsi. Dalam kedua model ini dapat menentukan jumlah cadangan minyak nasional. Berdasarkan badan statistik energi dunia tahun 2012, negara dengan cadangan minyak terbesar berada di Venezuela sebesar 297,6 miliar barel, dan Arab Saudi 265,9 miliar barel. Sedangkan Indonesia berada pada urutan ke-25, yakni 3,7 miliar barel. Melalui model kedua, tingkat eksplorasi, Indonesia memproduksi sebesar 830.000 barel per hari. Bandingkan dengan Venezuela memproduksi 2,73 juta barel per hari, dan Arab Saudi 11,53 juta barel per hari. Selama ini terjadi tingkat eksplorasi migas sebesar 40% dan 60% sisanya mayoritas berada di lepas pantai. Migas selama ini menjadi isu sentral mengenai ketersediaan dan keberlanjutannya yang dapat bertahan kurang lebih 11 tahun mendatang. Mengenai kepemilikan sejumlah blok migas yang dilakukan di Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan asing. Perusahaan yang menguasai eksplorasi migas yakni, Chevron 44%, Total E&P 10 %, Conoco Philip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energi 1%, lainnya 1%. Pertamina sebagai eksekutor “sah” untuk menguasai cadangan migas nasional hanya mampu mengeksplorasi 16%. Ini membuktikan lemahnya proteksi negara terhadap ijin pengelolaan blok migas. Negara menjadi “excecutive commite” dalam penjualan negara terhadap pemilik modal besar. Ketersediaan teknologi dalam mengeksplorasi cadangan migas nasional turut menjadi alasan pemberian ijin pengelolaan migas.

Otoritas Negara Penghasil Migas

Keanggotaan Indonesia dalam organisasi OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) yang mengatur produksi dan menentukan harga minyak dunia ikut menyeret Indonesia kedalam krisis energi dunia. Harga pasar minyak dunia diatur oleh lembaga tinggi ini. Indonesia dalam keanggotaanya harus menyuplai minyak mentah, yang kemudian mengimpor minyak siap pakai. Negara harus menanggung defisit devisa untuk kegiatan impor BBM tersebut.

Kerja sama dagang tersebut sangat memberatkan Indonesia apalagi kuota konsumsi dalam negeri harus bergantung pada tingkat konsumsi global. Persoalan migas merupakan masalah yang kompleks. Beberapa agenda politik dan serangan militer untuk merebut sumber migas di negara Timur Tengah maupun Afrika. Efek domino yang ditimbulkan akibat Perang Dingin silam masih membekas hingga kini. Perebutan sejumlah ladang minyak menjadi satu diantara dampaknya, dan berimbas kepada Republik Indonesia. Indonesia berada diantara kedua negara besar tersebut, yang dengan mudah untuk dikuasai oleh kedua blok negara tersebut.

Negara yang mempunyai cadangan migas seringkali mengalami vis a vis dengan industri negara lain yang membutuhkan migas. Iran, Venezuela, Ekuador, Bolivia dan negara Amerika Latin lainnya membuka blok baru dalam pendistribusian migas. Konsekuensi logis berupa embargo ekonomi dan politik harus diterima negara tersebut karena keluar dari kerjasama dagang internasional. Tetapi, cadangan migas nasional serta kedaulatan energi yang tertuang dalam kebijakan politik dapat mampu direalisasikan untuk rakyatnya, seperti Iran dan negara Amerika Latin lainnya.

Menjaga Eksistensi Negara

Peran negara sangat dibutuhkan untuk mengendalikan serta menjaga keberlanjutan produksi dalam negeri. Menurut perkiraan, akan terjadinya perang besar dalam memperebutkan ladang migas pada 10 tahun mendatang, seiring dengan menipisnya cadangan minyak dunia. Fenomena seperti ini akan dijumpai ke negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena ini dibutuhkan peran dan fungsi negara dalam menjaga kedaulatan energi nasional. Pertama, Perlunya kebijakan politik dari negara untuk membatasi sejumlah kegiatan eksporasi migas untuk kepentingan dalam negeri. Seperti tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa kekayaan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara dan diberikan seluas-luasnya kepada rakyat. Berdasarkan amanat konstitusi tersebut perlu kiranya untuk merenegosiasi kembali maupun menasionalisasi kembali sejumlah blok migas yang dimiliki oleh perusahaan asing.Kedua, menutup liberalisasi sektor transportasi dan perhubungan. Dari tingkat konsumsi BBM yang sangat tinggi menjadi kendala utama dalam kegiatan eksplorasi blok migas. Kebijakan “mobil murah” menambah polemik negara dalam mengendalikan tingkat konsumsi BBM berlebih. Dengan menutup jumlah kepemilikan kendaraan pribadi dan mengalihkannya pada transportasi umum adalah solusi bijak untuk mengendalikan cadangan migas nasional.Ketiga, bertumpu pada IPTEK untuk melakukan berbagai inovasi dan meningkatkan produktivitas bahan bakar pengganti BBM, berupa bio-etanol dan bio-solar. Energi pengganti ini dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan cadangan minyak yang tak dapat diperbarui. Dan juga didukung dengan pemanfaatan mesin serta teknologi yang  sesuai dengan penggunaan bahan bakar tersebut. Untuk itu IPTEK sangat dibutuhkan untuk menurunkan tingkat konsumsi BBM, berdampak positif terhadap cadangan migas nasional. Selain itu, Indonesia yang dilalui oleh garis khatulistiwa dan mempunyai keuntungan geografis dapat menjadi peluang untuk dimanfaatkan sebagai bahan pengganti BBM. Energi alam seperti energi panas bumi, air, angin, dan sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk mencegah kelangkaan BBM. Penggunaan energi alam ini selain dapat mengatasi penurunan cadangan migas, energi alam ini pun mempunyai keuntungan seperti, biaya produksi murah, mudah dimanfaatkan, dan ramah lingkungan.

Migas merupakan fundamen utama dalam proses keberlangsungan ekonomi produksi setiap negara. Inflasi yang naik dari tahun ke tahun sebaiknya menjadi PR kita bersama, yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM. Tentu, sudah saatnya pemerintah memikirkan kembali persoalan kedaulatan energi ditengah krisis ekonomi global dan juga untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

 

 

Trianda Surbakti

Kelompok Menulis GMNI Sumedang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar