Tokoh pendidikan di Indonesia adalah Ki Hajar Dewantara. Ia lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 dan diberi nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat yang berasal dari keluarga di lingkungan kraton Yogyakarta. Ki Hadjar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda), kemudian melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) namun karena sakit ia tidak sampai tamat. Ia kemudian menjadi wartawan di beberapa surat kabar diantaranya Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia,  Kaoem Moeda,  Tjahaja Timoer dan  Poesara.
Tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara pada surat kabar tersebut sangat komunikatif dan tajam sehingga mampu membangkitkan semangat patriotik dan antikolonial bagi rakyat Indonesia saat itu. Karya-karya Ki Hajar Dewantara yang menjadi landasan dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia diantara adalah kalimat-kalimat filosofis seperti “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri hadayani” yang artinya “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan” menjadi slogan pendidikan yang digunakan hingga saat ini. Atas jasanya dalam merintis pendidikan umum di Indonesia, Ki Hajar Dewantara dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959 tertanggal 28 November 1959, hari kelahiran Ki Hajar Dewantara yaitu tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.Duatahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa, tepatnya pada tanggal 28 April 1959  Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta.
Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 agustus 1945 sebagai puncak perjuangan yang hakiki melawan penjajahan serta bertekad untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” memiliki makna pembangunan peradaban manusia, sehingga bangsa Indonesia akan mampu hadir sebagai bangsa yang memiliki kepribadian nasional yang bersumber pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai ideologi bangsa sehingga tercapainya kehidupan yang adil, sejahtera dan berdaulat. Sudah hampir memasuki 71 tahun kemerdekaan Indonesia, cita cita dan semangat Ki Hajar Dewantara selaku Bapak Pendidikan Indonesia masih jauh dari harapan, hari ini pendidikan di negeri ini masih “dikangkangi” oleh sistem kapitalisme yang mengakar pada seluruh lini penghidupan ekonomi, politik dan kebudayaan. Di Indonesia, Pendidikan mahal dimulai ketika Indonesia bergabung dengan WTO (World Trade Organization) adalah Organisasi Perdagangan Dunia, yang merupakan badan khusus yang dibentuk oleh PBB. Indonesia sejak tahun 1995, tergabung dalam WTO dan melaksanakan “Agreement Establising the World Trade Organization pada masa rezim otoriter Soeharto. Pada tahun yang sama juga peleburan diri Bangsa Indonesia pada World Bank yang merambah dunia pendidikan,  tidak hanya memberikan hutang yang sangat besar, bahkan World Bank mendorong project privatisasi pendidikan melalui pendirian lembaga pendidikan bertarif mahal dengan dalil peningkatan mutu kualitas. Pendidikan mahal menjadi mode di kota-kota besar dan menjadi cerminan untuk kota lainnya. Secara tersirat pula pemerintah mengamini dan mengawal perjalanan kapitalisme dalam bentuk privatisasi pendidikan dengan kemunculan PT BHMN Tahun 1999 manifestasi kesepakatan GATS-WTO tahun 1995, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 secara tegas pemerintah mengatakan bahwa pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, ini menjadi titik awal terjadinya liberalisai, privatisasi dan komersialisasi. Dan juga terbitnya Undang-undang Perguruan Tinggi No.12 Tahun 2012 serta Permendikbud No.55 Tahun 2013. Dengan kondisi sedimikian kompleks, seharusnya Negara hadir untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan amanat UUD 1945, tetapi ini tidak berbanding lurus. Hal ini mengindikasi bahwa akar permasalahan privatisasi pendidikan di tanah air disebabkan tunduk patuhnya pemerintah Indonesia terhadap lembaga keuangan Internasional. Terbukti dengan dimulainya Masyarakat Ekonomi Asean Sejak Januari 2016 yang melihat dunia pendidikan di Indonesia sebagai potensi pasar yang sangat besar untuk melanggengkan pendidikan yang kapitalistik. Privatisasi pendidikan juga mereduksi fungsi pendidikan sebagai pemutus rantai kemiskinan. Pendidikan sebagai alat pemberdayaan yang dapat memutuskan rantai kemiskinan (Vicious Circle of Poverty) semakin kehilangan fungsinya dan lebih mengarah pada pelanggengan Poverty Trap (Jebakan Kemiskinan). Virus ini juga melahirkan diskriminasi sosial, dimana kesempatan pendidikan semakin sempit dan diskriminatif sehingga adanya segregasi sosial yang menimbulkan pelabelan sosial antara yang kaya dan miskin.
Maka teranglah bahwa komoditas pendidikan merupakan implikasi dari privatisasi pendidikan yang mana pendidikan difungsikan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, produksi manusia-manusia siap pakai untuk mengisi ruang ruang usaha publik dan dunia kerja serta lembaga pendidikan hanya dipandang sebagai investor dan kurikulum dianggap pesanan dari sang pemilik modal.
Berdasarkan Realita Pendidikan Indonesia yang sangat memprihatikan, dengan ini Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia menyimpulkan bahwa Pemerintah harus kembali kepada Amanat Konstitusi UUD 1945 dan Pancasila 1 juni. Dan pemerintahan Jokowi – JK segera untuk:
1. Menghentikan Liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan
2. Mencabut Undang-Undang No. 20 tahun 2003
3. Mencabut Undang undang No.12 tahun 2012
4. Mencabut Permendikbud No.55 tahun 2013
Jakarta, 2 Mei 2016
Presidium GMNI
Ketua Presidium (Chrisman Damanik)
Sekretaris Jenderal (Pius A.Bria)
Komite Pendidikan dan Kebudayaan (Widya Fattah Almis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar