"Di jaman kolonial, pendidikan menjadi sarana penting untuk melancarkan dominasi ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Kolonialis Belanda menggunakan politik etis (edukasi) sebagai jalan merintis ekspansi kapitalnya di Hindia-Belanda. Pendidikan juga menjadi sarana penaklukan politik, yakni penyerapan kaum priayi ke dalam lembaga pendidikan kolonial untuk mensuplai tenaga ambtenaar bagi administrasi kolonial. Pendidikan juga menjadi senjata penting untuk menanamkan mental inferior di tempurung otak rakyat jajahan."
Kaum pergerakan di masa awal sangat menyadari arti penting bagi penguasa kolonial untuk menegakkan kekuasaan ekonomi, politik, dan sosial-budayanya. Semisal pernyataan Kartini: “Oh, sekarang saya mengerti, mengapa orang tidak setuju dengan kemajuan orang Jawa. Kalau orang Jawa berpengetahuan, ia tidak akan lagi mengiyakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin dikatakan atau diwajibkan oleh atasannya.” [Surat Kepada E.H. Zeehandelaar, 12 Januari 1900]
Namun demikian, kaum pergerakan juga menyadari arti penting pendidikan sebagai senjata untuk emansipasi dan memerdekakan manusia. Karena itu, kaum pergerakan kemudian mencoba mendorong pendidikan alternatif sebagai senjata melawan kolonialisme: Kartini, Dewi Sartika dan Rohana Kudus dengan Sekolah Perempuannya; Tan Malaka dan PKI dengan Sekolah Rakyatnya; dan Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya.
Pendidikan alternatif ini menjadi alat untuk menanamkan ide-ide kebangsaan dan kemerdekaan kepada rakyat jelata. Seperti dikatakan oleh Tan Malaka, “cuma kita dengan pengajaran sekolah itu juga mesti bangunkan jiwa merdeka, sebagai manusia merdeka dengan bermacam-macam jalan.”
Pada tahun 1932, sehubungan dengan pertumbuhan Sekolah-Sekolah Rakyat dan sekolah-sekolah alternatif yang dibangun kaum pergerakan, pemerintah kolonial mengeluarkan Toezicht Ordonnantie Particulier atau sering disebut Ordonansi Sekolah Liar, yang mengharuskan sekolah yang tidak menerima biaya (subsidi) dari pemerintah tidak memulai aktivitasnya sebelum mendapat ijin dari pemerintah kolonial.
Pendidikan Dan Kelahiran Nasionalisme
Nasionalisme sebagai ide modern masuk ke dalam kesadaran pribumi melalui lembaga pendidikan, khususnya bacaan. Tak mengherankan, para pelopor nasionalisme pribumi adalah kaum terdidik yang sudah tercerahkan (Kartini, Tirto Adhisoerjo, Wahidin Soedirohoesodo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat, dll).
Bacaan berkontribusi dalam melahirkan pengetahuan untuk membaca keadaan, mengetahui akar masalah, dan menyusun strategi untuk mengubahnya. Karena itu, selain faktor-faktor material, yakni pengalaman dan kesadaran sosial, bacaan juga berkontribusi dalam munculnya kesadaran sebagai nasion: kesamaan kehendak, kesamaan nasib, dan kesamaan cita-cita.
Pendidikan Dan Cita-Cita Nasional:
Para pendiri bangsa kita meletakkan pendidikan sebagai aspek penting dalam perjuangan nasional. Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan kita berbangsa dan bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di sini, kemerdekaan tidak hanya dimaknai sebagai pembebasan bangsa dari belenggu ekonomi-politik yang kolonialistik, tetapi juga pembebasan dari kebodohan dan keterbelakangan. Karena kebodohan dan keterbelakangan telah dimanfaatkan oleh kolonialisme untuk memelihara kekuasaannya selama ratusan tahun.
Agar cita-cita nasional tersebut bisa terwujud, ada beberapa syarat yang mesti terpastikan: pertama, pendidikan harus bisa diakses oleh seluruh warga Negara tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi; kedua, penyelenggaraan pendidikan harus demokratis dan partisipatif; ketiga, isian pendidikan harus mencerdaskan dan menanamkan nilai-nilai progressif, seperti nasionalisme, demokrasi, kemanusiaan, solidaritas, gotong-royong, dan lain-lain.
Di masa awal kemerdekaan, sebagaimana juga di Negara-negara maju yang lebih dulu merdeka, hal pertama yang ditekankan adalah membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi warga Negara. Saat itu sekolah-sekolah berdiri, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun oleh organisasi politik/sosial, untuk memberikan pengajaran kepada rakyat banyak.
Selain itu, pemerintah juga meluncurkan gerakan pemberantasan buta-huruf. Pada Juni 1948, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan makin mengintensifkan gerakan tersebut. Kursus PBH dibuka secara intensif di sejumlah karasidenan, seperti Malang, Surabaya, Kediri, Madiun, Bojonegoro, Semarang, Pati, Surakarta, Kedu, Yogya, Banyumas, dan lain-lain. Jumlah kursus PBH yang diselenggarakan oleh Pemerintah berjumlah 18.663 tempat, dengan 17.822 orang guru dan 761.483 orang murid. Sedangkan yang digelar secara independen berjumlah 881 tempat dengan 515 orang guru dan 33626 murid.
Pada tahun 1951, disusunlah program Sepuluh Tahun Pemberantasan Buta Huruf dengan harapan semua penduduk Indonesia akan melek huruf dalam jangka waktu sepuluh tahun berikutnya. Namun, pada tahun 1960, masih ada sekitar 40 persen orang dewasa yang buta huruf.
Akhirnya, pada tahun 1960, Bung Karno mengeluarkan komando untuk menuntaskan buta huruf sampai 1964. Hampir semua organisasi massa, terutama dari PKI, Gerwani, dan PGRI non-vaksentral, terlibat dalam kursus-kursus PBH di seluruh negeri. Alhasil, pada 31 Desember 1964, penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Irian Barat) dinyatakan bebas buta huruf.
Kemudian, pada tahun 1960-an, pemerintahan Soekarno menjadikan pendidikan sebagai penopang utama pelaksanaan proyek “nation and character building”. Soekarno menyadari betul bahwa lembaga pendidikan merupakan wadah yang tepat untuk menyemai semangat dan karakter kebangsaan bagi setiap manusia Indonesia. Lembaga pendidikan menjadi sarana untuk membentuk mental manusia Indonesia yang “self-reliance” (jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri) dan “self help” (jiwa berdikari).
Problem Pendidikan Nasional
Sekarang ini pendidikan nasional kita terbelenggu oleh persoalan pokok: pendidikan kita makin berorientasi pada logika kapital/pasar, yakni mengakumulasi keuntungan. Ini diperparah dengan merembesnya kebijakan neoliberal ke sektor pendidikan.
Pendidikan yang makin bercorak kapitalistik ini membawa sejumlah konsekuensi: pertama, pendidikan diubah menjadi ‘barang dagangan’ yang hanya bisa diakses oleh mereka yang punya daya beli; kedua, orientasi pendidikan adalah melayani kebutuhan pasar, termasuk pasar tenaga kerja; dan ketiga, kurikulum dan isian pendidikan sangat bercorak kepentingan pasar.
Neoliberalisme menganggap Negara sebagai persoalan dalam lapangan ekonomi. Karena itu, para penganjur neoliberalisme mati-matian mendepak peran/intervensi Negara di lapangan ekonomi dan urusan publik, termasuk pendidikan. Selanjutnya, para pengusung neoliberal memaksakan urusan pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar.
Lebih lanjut, neoliberalisme juga menghapus konsep “warga Negara”. Bagi mereka, warga Negara atau kepentingan umum itu adalah fiksi. Konsep warga Negara kemudian diubah menjadi konsep “setiap orang”. Ini terjadi juga dalam konstitusi kita: sebelum amandemen masih menggunakan konsep ‘warga negara’, tetapi setelah amandemen beberapa pasal sudah mengadopsi konsep ‘setiap orang’. Singkat cerita, di bawah neoliberalisme para penghuni Negara ini kemudian diperlakukan sebagai ‘konsumen’.
Hal ini berdampak sangat penting di dunia pendidikan. Negara kemudian dihilangkan tanggung-jawabnya dalam urusan pendidikan, mulai dari soal pembiayaan hingga penyelenggaraan pendidikan. Lalu, setiap warga Negara yang menginginkan pengajaran diperlakukan sebagai konsumen.
Praktek neoliberalisme di sektor pendidikan ini membawa banyak malapetaka: pertama, biaya pendidikan semakin mahal dan hanya bisa terjangkau oleh segelintir orang; kedua, terlembagakannya praktek diskriminasi dan segmentasi dalam penyelenggaraan pendidikan (sekolah elit, sekolah internasional, dll); dan ketiga, penyelenggaraan pendidikan makin berjarak dengan kepentingan umum; kurikulum dan mata pelajaran/kuliah disesuaikan dengan kebutuhan pasar.
Pengajaran Nasionalisme Dalam Lembaga Pendidikan
Sejarah lahirnya nation Indonesia tidak lepas dari tuntutan: kesamaan nasib, kesamaan kehendak, dan kesamaan cita-cita. Disamping adanya faktor kesatuan ekonomi, kesatuan bahasa, kesatuan wilayah, dan faktor kesamaan psikologis/kejiwaan.
Ide kemudian mengalami kristalisasinya saat kongres Pemuda tahun 1928. Kongres itu melahirkan ikrar terkenal: kesatuan bangsa, kesatuan tanah air, dan kesatuan bahasa. Ini sekaligus jawaban atas keragaman dan kemajemukan yang membentuk nation Indonesia: beragam suku, agama, adat-istiadat, dan aliran politik.
Karena itu, seperti ditegaskan oleh Bung Karno, dari Sabang sampai Merauke bukan sekedar bentangan wilayah/geografis, melainkan juga satu kesatuan tekad/kehendak, kesatuan nasib/psikologis, dan kesatuan cita-cita sosial.
Sayangnya, di masa Orde Baru, NKRI hanya dipahahami sebagai bentangan geografis belaka. Akibatnya, ekspresi nasionalisme Orba sangatlah sempit, yakni chauvinisme teritorial belaka. Orba melihat kumpulan manusia yang mendiami wilayah Indonesia sebagai penghuni teritorial belaka. Nasionalisme teritorial ini lebih mengedepankan keamanan teritorial ketimbang manusia yang berdiam di dalamnya. Ia tidak melihat ‘manusia Indonesia’ sebagai sebuah kumpulan manusia yang beraneka ragam (suku, agama, adat istiadat, dan aliran politiknya), tetapi dipersatukan oleh persamaan kehendak, kesamaan nasib, dan kesamaan cita-cita.
Yang terjadi, rezim Orba sibuk mengobarkan nasionalisme teritorial melawan sepatisme, tetapi justru memupuk ketidakadilan ekonomi, sosial, dan politik antar penduduk dan wilayah. Terjadi ketimpangan ekonomi dan sosial antara penduduk maupun antar wilayah. Inilah yang memicu isu separatisme, seperti kasus Aceh dan Papua.
Yang lebih ironis lagi, kendati Orba mengobarkan nasionalisme teritorial, tetapi banyak teritorial dan kekayaan alam di dalamnya justru dicaplok oleh korporasi berbendera asing. Orde baru sangat permisif terhadap modal asing. Akibatnya, nasionalisme Orba sangat hambar ketika berhadapan dengan kepentingan ekonomi-politik kapital asing. Nasionalisme di era Orba tidak punya elang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Sebaliknya, nasionalisme di era Orba menjadi ‘palu godam’ untuk memukul perbedaan pendapat dan ekspresi politik yang menentang kekuasaan Orba.
Yang terjadi, nasionalisme yang hambar dan sempit inilah yang diajarkan oleh Orba melalui lembaga pendidikan. Ekspresi nasionalisme yang diajarkan di sekolah lebih banyak ke ritual nasionalisme yang hambar: upacara bendera; menghafal nama pahlawan, jumlah provinsi, dan hari-hari nasional; penataran P4, dan lain-lain. Nilai-nilai atau cara pandang orba terhadap nasionalisme diajarkan dengan model indoktrinasi.
Di era pasca reformasi, seiring dengan menguatnya ideologi neoliberal di lapangan ekonomi dan politik, nasionalisme sebagai sebuah gagasan dan cita-cita dikerdilkan. Maklum, neoliberalisme dengan topeng globalisasi-nya sangat alergi dengan ekspresi nasionalisme apapun. Neoliberalisme menganggap nasionalisme sebagai rintangan terhadap kepentingan ekonominya, terutama untuk kebebasan kapital dan barang dagangan mereka. Tak mengherankan, seringkali kita mendengar pengusung neoliberal berujar: “nasionalisme adalah ide yang sudah usang dan saatnya dibuang ke keranjang sampah.”
Tak mengherankan, kurikulum di bawah neoliberalisme berusaha menyingkirkan pentingnya pengajaran nasionalisme kepada anak didik. Imajinasi anak didik mengenai sebuah bangsa diberangus. Pelajaran sejarah dan ilmu-ilmu sosial dikurangi porsinya. Sebaliknya, anak didik dipaksa untuk menghamba pada ide korporatisme, individualisme, dan tunduk pada disiplin pasar.
Membangkitkan Kembali Nasionalisme Kita di Abad 21
Banyak yang bilang, nasionalisme sebagai sebuah ide yang mengedepankan kebangsaan sudah kadaluarsa. Pasalnya, menurut mereka, bangsa sebagai sebuah pengelompokan manusia dan teritorinya sudah usang di hadapan dunia yang terglobalisasi. Sekarang kapitalisme menghendaki sebuah pasar global yang tidak terpagari oleh negara-bangsa.
Yang menarik, para pendiri bangsa kita—terutama Soekarno—sudah menyadari bahwa kelahiran nation tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme untuk mengkonsolidasikan diri dan memulai ekspansinya ke berbagai belahan dunia. Karena itu, sebagaimana ditegaskan Bung Karno, nasionalisme Indonesia bukanlah proyek yang berhenti manakala kita sudah punya negara dan pemerintahan nasional. Sebaliknya, nasionalisme Indonesia merupakan proyek bersama yang punya cita-cita besar: mewujudkan masyarakat adil dan makmur tanpa penghisapan manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa. Karena itu, nasionalisme Indonesia adalah proyek bersama yang masih jauh dari selesai.
Karena itu, nasionalisme Indonesia dibangun dari sejumlah nilai progressif: pertama, nasionalisme Indonesia berpijak kepada nilai-nilai kemanusiaan/humanisme; kedua, nasionalisme Indonesia menghendaki kesejahteraan sosial (dan karenanya, nasionalisme Indonesia sangat anti-kapitalisme dan anti-imperialisme); dan ketiga, nasionalisme Indonesia bervisi internasionalisme, yakni persaudaraan antar bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Karena itu, nasionalisme Indonesia adalah sebuah proyek bersama yang relevan dengan proyek emansipasi apapun yang menghendaki keadilan dan kesejahteraan sosial. Dan karena itu pula, nasionalisme Indonesia tetap relevan sepanjang zaman.
Bagaimana membangkitkan kembali nasionalisme kita? Saya kira menghidupkan kembali api nasionalisme harus dimulai dari kesadaran: Satu, Indonesia sebagai proyek bersama haruslah menjadi wadah bagi seluruh bangsa Indonesia dari beragam suku, agama dan adat-istiadat. Semboyan ‘bhineka tunggal ika’ harus termaterialkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dua, Indonesia sebagai proyek bersama harus memberi tempat kepada seluruh rakyat Indonesia, yang berhimpun dalam berbagai kekuatan politik, untuk berbicara dan beraspirasi. Sebab, visi strategis tentang Indonesia masa depan hanya dapat diterima bersama jikalau disosialisasi dan diperdebatkan secara terbuka dan demokratis. Dan Tiga, Perlu untuk mulai dengan mendiskusikan problem pokok bangsa saat ini dan menjadikannya sebagai titik-tolak untuk membangun kesatuan baru di atas basis persamaan nasib.
Dalam konteks pengajaran nasionalisme di sekolah, hal yang mendesak dilakukan adalah: pertama, mengembalikan jiwa nasionalisme kita sebagaimana akar historis dan kekayaan gagasan para pendiri bangsa; kedua, nasionalisme harus diajarkan sebagai nilai yang hidup dan bisa menjiwai praktek sosial, seperti kecintaan terhadap kemanusiaan, pemihakan terhadap keadilan sosial, patriotisme yang progressif, dan lain sebagainya; dan ketiga, perlu mendorong peserta didik untuk belajar memahami keadaan sosial di sekitarnya dan bagaimana menempatkan dirinya sebagai “manusia Indonesia” dalam keadaan tersebut.
Rudi Hartono, kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Pimred Berdikari Online.
Catatan: Artikel ini disampaikan dalam seminar bertajuk “Menerapkan Nilai-Nilai Nasionalisme Dalam Pendidikan untuk Menciptakan Generasi Berkarakter Kebangsaan”, di kampus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Jogjakarta, 15 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar