Di momen 68 tahun kemerdekaan Indonesia ini, ingin saya bagikan sebuah kisah memilukan dari TheFounding Father Soekarno pada masa-masa akhir kekuasaannya. Semua jasa dan perjuangan Soekarno seakan tidak ada nilainya jika menyimak kisah ini. Bagaimana kisahnya ? simaklah di bawah ini :
Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dan MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam. Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. “Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!”.Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. “Mana kakak-kakakmu” kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata “Mereka pergi ke rumah Ibu”. Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi “Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara”. Kata Bung Karno, lalu Bung Karno melangkah ke arah ruang tamu Istana disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan ia maklum, ajudan itu sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. “Aku sudah tidak boleh tinggal di Istanaini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara.
Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi “Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan…” Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno. “Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu…keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara”. Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. “Pak kamu memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya”. Bung Karno tertawa “Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa…”

Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. “Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini”. Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan. Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah 
bendera pusaka akan diambil oleh tentara. Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar. Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Saelan dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan. “Aku pergi dulu” kata Bung Karno dengan terburu-buru. “Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak” Saelan separuh berteriak. Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman. Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi. Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. “Aku pengen duku, …Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang” Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo. Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata “Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil”. Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. “Mau pilih mana, Pak manis-manis nih ” sahut tukang duku dengan logat betawi kental. Bung Karno dengan tersenyum senang berkata “coba kamu cari yang enak”. Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak “Bapak…Bapak….Bapak…Itu Bapak…Bapaak” Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan” Ada Pak Karno, Ada Pak Karno….” mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno. Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. “Tri, berangkat ….cepat” perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah.
Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!…
Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri. Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis. Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. “Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden” kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya. Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya. “Lhol, Mbak Rachma ada apa?” tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggemgam tangan Rachma lalu dengan menggemgam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto. “Lho, Mbak Rachma..ada apa?” kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawat di Wisma Yaso.Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi. Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapihkan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno. Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi.
Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberapa orang diketahui akan nekat membebaskan Bung Karno. Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.
Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak. Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak “Hidup Bung Karno….hidup Bung Karno….Hidup Bung Karno…!!!!!” Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik.
Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau. Ia berteriak ” Sakit….Sakit ya Allah…Sakit…” tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.
Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno. “Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik” Hatta menoleh pada isterinya dan berkata “Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kita itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini”. Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.
Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan “Bagaimana kabarmu, No” kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah. Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta “Hoe gaat het met Jou?” kata Bung Karno dalam bahasa Belanda – Bagaimana pula kabarmu, Hatta – Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil. Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada.
Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.
Mendengar kematian Bung Karno rakyat berjejer-jejer berdiri di jalan. Rakyat Indonesia dalam kondisi bingung. Banyak rumah yang isinya hanya orang menangis karena Bung Karno meninggal. Tapi tentara memerintahkan agar jangan ada rakyat yang hadir di pemakaman Bung Karno. Bung Karno ingin dikesankan sebagai pribadi yang senyap, tapi sejarah akan kenangan tidak bisa dibohongi. Rakyat tetap saja melawan untuk hadir. Hampir 5 kilometer orang antre untuk melihat jenazah Bung Karno, di pinggir jalan Gatot Subroto banyak orang berteriak menangis. Di Jawa Timur tentara yang melarang rakyat melihat jenasah Bung Karno menolak dengan hanya duduk-duduk di pinggir jalan, mereka diusiri tapi datang lagi. Tau sikap rakyat seperti itu tentara menyerah. Jutaan orang Indonesia berhamburan di jalan-jalan pada 21 Juni 1970. Hampir semua orang yang rajin menulis catatan hariannya pasti mencatat tanggal itu sebagai tanggal meninggalnya Bung Karno dengan rasa sedih. Koran-koran yang isinya hanya menjelek-jelekkan Bung Karno sontak tulisannya memuja Bung Karno.
Bung Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh dokter hewan, tidak diperlakukan dengan secara manusiawi. Mendapatkan keagungan yang luar biasa saat dia meninggal. Jutaan rakyat berjejer di pinggir jalan, mereka melambai-lambaikan tangan dan menangis. Mereka berdiri kepanasan, berdiri dengan rasa cinta bukan sebuah keterpaksaan. Dan sejarah menjadi saksi bagaimana sebuah memperlakukan orang yang kalah, walaupun orang yang kalah itu adalah orang yang memerdekakan bangsanya, orang yang menjadi alasan terbesar mengapa Indonesia harus berdiri, Tapi dia diperlakukan layaknya binatang terbuang, semoga kita tidak mengulangi kesalahan seperti ini lagi…..
Kenyataan tragis yang dialami oleh Bung karno merupakan gambaran tragis kondisi politik dan sistim alih kekuasaan di Indonesia. Bung Karno telah memberikan seluruh catatan hidupnya untuk kebangkitan Bangsa Indonesia, walau pada akhirnya di Indonesia pula Bung Karno di campakkan.
Diolah dari berbagai sumber


11 Maret 1966, sejarah Indonesia mengalami titik balik. Sebuah rezim mulai runtuh. Dan sebuah babak baru lahir. Instrumen yang mengubah sejarah itu cuma secarik kertas, yang ditandatangani Presiden Soekarno hari itu: Surat Perintah Sebelas Maret, biasa disingkat Supersemar. Lewat surat itu Presiden Soekarno memberikan wewenang kepada Letjen Soeharto, waktu itu Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil “segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi”. Lewat surat itulah kekuasaan Presiden Soekarno mulai terkikis. Dan Jenderal Soeharto muncul sebagai pimpinan nasional yang baru.
Menjelang 11 Maret 1971 itu Presiden Soeharto untuk pertama kali menjelaskan latar belakang dan sejarah lahirnya Supersemar karena, katanya, rakyat Indonesia memang berhak mengetahuinya. “Supersemar merupakan bagian sejarah yang sangat penting untuk meluruskan kembali perjuangan bangsa dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan dan memberi isi kemerdekaan,” ujarnya. Intisari penjelasan Kepala Negara: ia tidak pernah menganggap SP 11 Maret itu sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. “Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup secara terselubung,” katanya tegas.
Supersemar memang peristiwa yang bersejarah. Ada yang menyebutnya “tonggak sejarah Orde Baru”, atau “Momentum Orde Baru”. Presiden Soeharto sendiri menyebutnya “Awal Perjuangan Orde Baru”. Meski telah beberapa kali dilakukan usaha merekonstruksikan peristiwa itu, antara lain pada 1976 oleh Pusat Sejarah ABRI yang waktu itu dipimpin Nugroho Notosusanto (almarhum), masih sering terjadi kesimpangsiuran mengenai peristiwa penting itu. Misalnya yang terjadi pada 1982, tatkala muncul kisah lahirnya Supersemar versi Hasjim Ning, yang kemudian dibantah sendiri oleh pengusaha tersebut. Tampaknya, belum semua hal terungkap seputar kelahiran Supersemar. Bukan cuma itu saja. Di sana-sini masih ada cerita yang tidak klop. Mungkin pelacakan secara lengkap perlu dilakukan, mumpung banyak pelakunya masih ada. Surat asli Supersemar sendiri kabarnya hingga kini masih hilang. Maklum, di saat itu keadaan cukup kacau hingga mungkin kesadaran mendokumentasi masih kurang.
Alkisah……
Istana Bogor, Jumat 11 Maret 1966. Deru suara helikopter memecah keheningan Istana sekitar pukul 11 siang. Helikopter Bell kepresidenan mendarat di lapangan Istana.
“Kok siang-siang begini datang, biasanya ‘kan sore,” pikir Ny. Hartini Soekarno sambil keluar pavilyun Istana menjemput suaminya.
Presiden Soekarno tiap Jumat sore memang menginap di Istana Bogor, dan kembali ke Istana Merdeka Senin pagi. Dengan dikawal Brigjen Sabur, ajudan Presiden sekaligus Komandan Resimen Cakrabirawa (satuan pengawal presiden), Bung Karno, yang berpakaian uniform presiden warna abu-abu, memasuki pavilyun. Ia memakai pici, dan tak lupa membawa tongkatnya.
“Pagi-pagi kok sudah ada di Bogor, Mas,” ucap Ny. Hartini. Bung Karno, yang datang dengan muka keruh, hanya menjawab pendek, “Tien, keadaan genting.” Soekarno kemudian masuk kamar, berganti pakaian. Ia sembahyang lohor dan makan siang.
Menu siang itu: sayur lodeh, tahu, dan tempe — makanan kesukaan Bung Karno. “Bapak hanya makan sedikit. Kelihatannya nafsu makannya tidak baik,” cerita Ny. Hartini. Selesai makan siang, Soekarno beristirahat. Saat itu sekitar pukul satu siang.
Tak lama kemudian deru helikopter yang mendarat menggemuruh lagi. Isinya Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Subandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh. “Mereka menuju pavilyun saya, yang terletak di sebelah kiri pavilyun Bung Karno, dan saya persilakan duduk. Pak Sabur datang dan berbicara dengan mereka. Ia lalu mengantar mereka ke pavilyun yang disediakan untuk tamu,” kata Mangil Martowidjojo, yang saat itu menjabat Komandan Detasemen Kawal Pribadi Resimen Cakrabirawa.
Sekitar pukul 2, sebuah helikopter mendarat lagi. Kali ini yang turun Menteri Veteran Mayjen Basoeki Rahmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen Jusuf, dan Pangdam V Jaya Brigjen Amir Machmud. Semuanya berseragam militer. Mereka langsung menuju pavilyun tempat pengawal, dan disambut Sabur. “Bur, kami datang ingin ketemu Bapak,” kata Basoeki Rahmat. Sabur menjelaskan, Bung Karno sedang beristirahat. “Kalau begitu, akan kami tunggu,” jawab Basoeki Rahmat. Seingat Ny. Hartini, Bung Karno siang itu beristirahat sekitar dua jam.
Kira-kira pukul 14.30 (ini menurut penuturan Jenderal Jusuf pada 1973), Sabur datang dan mengatakan Bung Karno bisa ditemui. Ketiga jenderal itu lalu dibawa ke ruang tamu Istana yang dindingnya bercat putih itu. Soekarno yang mengenakan celana kolor dan kaus oblong putih menerima mereka. Raut mukanya keruh. “Mau apa kalian ke sini?”tanyanya. Basoeki Rahmat sebagai jenderal tertua dalam rombongan itu memulai berbicara, mewakili yang lain. “Kami sengaja datang untuk menemui Bapak untuk menunjukkan kami tidak meninggalkan Bapak. Kami tidak ingin Bapak merasa telah ditinggalkan oleh ABRI, oleh Angkatan Darat. Kami menyesalkan terjadinya peristiwa pagi tadi. Tapi kami harap Bapak Presiden tidak terpengaruh oleh kejadian itu.”
Sikap Bung Karno ternyata masih keras. “Apa? Kau bilang aku jangan terpengaruh? Aku tidak usah gelisah? Kau mengatakan Angkatan Darat tidak meninggalkan aku? Kalian sendiri tahu, Angkatan Darat ikut demonstrasi. Ikut menjatuhkan saya. Kalian susupkan anggota RPKAD dan Kostrad di antara pemuda dan mahasiswa itu. Untuk apa kalau bukan untuk menyerang saya?”
Kemarahan Bung Karno bisa dimengerti. Pagi 11 Maret itu di Istana Negara ada sidang kabinet. Sebelum sidang dimulai, Presiden Soekarno menanyakan pada Amir Machmud apakah situasi aman hingga sidang kabinet bisa dilangsungkan. Pangdam V Jaya ini memberikan jaminannya bahwa situasi aman. Namun, di tengah sidang, mendadak Brigien Sabur menyampaikan suatu nota kepada Presiden Soekarno. Isinya ternyata laporan tentang adanya pasukan tak dikenal, karena tak memakai tanda pengenal, meski memakai senjata, di sekeliling Istana. Setelak berbicara dengan Subandrio, Bung Karno lalu menskors sidang, dan menyerahkan pimpinan sidang pada Waperdam Leimena.
Rupanya, laporan tentang munculnya “pasukan liar” itu mengguncangkan Presiden Soekarno, yang tampaknya menduga, pasukan itu dikerahkan pihak Angkatan Darat yang menentangnya. Karena itulah ia menghentikan sidang kabinet, meninggalkan istana, dan menuju ke helikopter, diikuti Subandrio yang terbirit-birit hingga sepatunya tertinggal, serta Chaerul Saleh. Bung Karno, yang mungkin merasa situasi Jakarta terlalu panas, terbang ke Istana Bogor.
Hari-hari itu suasana Jakarta memang panas dan bergolak. Hampir tiap hari terjadi demonstrasi KAMI dan KAPPI. Lima bulan setelah Peristiwa G-30-S/PKI, penyelesaian politik yang dijanjikan Presiden Soekarno belum juga terjadi. Meski kegiatan PKI telah dilarang oleh sejumlah penguasa militer, secara resmi PKI belum dibubarkan. Sementara itu, situasi ekonomi makin parah. Pemerintah pada 13 Desember 1965 telah memotong nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Namun, harga kebutuhan hidup makin melonjak. Masyarakat merasa gelisah. Demonstrasi-demonstrasi itu umumnya diorganisasikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang makin lama tumbuh makin besar dan kuat. Corat-coret dan yelyel para demonstran itu keras dan menuding pemerintah: “Turunkan harga beras”, “Singkirkan menteri-menteri yang tidak becus”, atau “Ganyang Subandrio”. Waperdam Subandrio memang menjadi sasaran, karena ia — yang kemudian mendapat julukan Durno — dianggap “dekat” dengan PKI. Namun, terhadap Presiden Soekarno, para mahasiswa dan pemuda masih bersikap toleran. Yel-yel “Hidup Bung Karno” masih diteriakkan para demonstran itu. Pada 10 Januari 1966 dicetuskanlah Tri tuntutan Rakyat (Tritura): Bubarkan PKI, Rombak Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.
Aksi-aksi mahasiswa dan pemuda makin menghebat. Meski menyerang pemerintah dengan tuntutan seperti “Ritul Menteri Goblok”, belum muncul kecaman langsung terhadap Presiden Soekarno. Para pemimpin mahasiswa malah berkata: aksi-aksi mahasiswa itu selalu sejalan dengan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Bung Karno sendiri menuduh, kerusuhan dan keguncangan yang terjadi didalangi oleh pihak kontrarevolusi dan nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme) yang mau menjatuhkan dia. Dalam suatu sidang kabinet di Istana Bogor pada 15 Januari 1966 dengan marah ia berseru, “Ini Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Siapa yang mau ikut saya, ikutlah. Saya yang bertanggung jawab pada Revolusi. Ini aku Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Siapa yang senang pada Soekarno, ayo susun barisan, pertahankan, kumpulkan barisan. Jangan bertindak liar. Tunggulah komando saya. Saya tidak mau didongkel-dongkel dari belakang.”
Kekuasaan Presiden Soekarno saat itu memang masih besar. Meski banyak yang tidak puas dengan sikapnya yang dianggap melindungi PKI dengan menolak desakan untuk membubarkan partai itu, serta cara penanganan masalah ekonomi yang payah, kedudukannya bagai tak tergoyahkan. Sebagian ABRI waktu itu, terutama AL, AU, dan Kepolisian, mendukung dia. Karena seruan Bung Karno, atas ajakan Subandrio dibentuklah Barisan Soekarno. Dalam pidato radionya, Subandrio juga mengecam keras aksi-aksi mahasiswa, yang dinilainya melampaui batas kesopanan. “Apakah perbuatan mahasiswa itu benar-benar berasal dari mereka sendiri? Ataukah penunggangan dari musuh-musuh revolusi, baik nekolim dari luar maupun kontrarevolusi dari dalam, yang menyelewengkan niat baik mahasiswa kita?” katanya. Tuduhan Subandrio ini menggusarkan mahasiswa. Serta merta Subandrio dijuluki “Anjing Peking” atau “Haji Peking”.
Meski Pepelrada Jaya sejak 16 Januari melarang demonstrasi, para mahasiswa melawannya dengan mengirim delegasi-delegasi menemui para pejabat. Bentrokan fisik mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dengan kelompok pemuda dan mahasiswa marhaen mulai terjadi di beberapa tempat. Dengan berbagai cara, antara lain gerak jalan, pawai, atau apel siaga, aksi-aksi pemuda dan mahaslswa berjalan terus.
Pada 21 Februari Presiden Soekarno merombak kabinet. Susunan kabinet yang baru ternyata tidak memuaskan banyak pihak, termasuk para mahasiswa, karena sejumlah menteri dianggap dekat atau pro-PKI dipertahankan atau dimasukkan. Dengan dalih mengadakan “Apel Besar Kesetiaan pada Presiden Soekarno”, pada 23 Februari KAMI menyelenggarakan demonstrasi lagi. Tatkala berniat “menyampaikan resolusi” ke Sekretariat Negara, terjadi bentrokan dengan petugas keamanan. Beberapa mahasiswa terluka kena tembakan. Mahasiswa yang marah lalu merusakkan kantor Setneg.
Kamis 24 Februari 1966, Kabinet Dwikora yang disempurnakan – yang diejek sebagai Kabinet 100 Menteri — akan dilantik. Para mahasiswa sejak pagi buta melancarkan aksi pengempisan ban di jalan-jalan utama Jakarta. Jakarta macet total. Pelantikan berjalan terus, meski sebagian menteri harus dijemput dengan helikopter atau dengan berbagai cara menembus demonstrasi yang mengepung Istana. Di tengah kegalauan itu terdengar suara tembakan. Beberapa demonstran tertembak. Seorang di antaranya, Arief Rachman Hakim, tewas, kena tembakan pasukan Cakrabirawa. Esoknya, upacara penguburan Arief — yang diperlakukan sebagai martir — dilanjutkan dengan aksi unjuk perasaan. Ratusan ribu orang memadati jalan dan menyaksikan iringan jenazah menuju pemakaman Blok P, Kebayoran Baru. Sorenya, muncul sas-sus pasukan Cakra akan menyerang kampus UI Salemba, yang dijadikan markas mahasiswa. Beberapa panser Kostrad segera dikirim ke UI untuk menjaga. Para pimpinan mahasiswa dilindungi, dan mereka, ‘antara lain Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Lim Bian Kun, menginap di markas Kopur Kostrad. Yang terjadi selama aksi demonstrasi berlangsung memang itu: para mahasiswa mendapat dukungan dan bekerja sama dengan sebagian Angkatan Darat, terutama RPKAD dan Kostrad.
Karena itu, meski sejak 26 Februari KAMI dibubarkan pemerintah, aksi demonstrasi menuntut pelaksanaan Tritura bisa berjalan terus, antara lain lewat KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia) yang dibentuk pada 9 Februari 1966. Timbul ide di kalangan pimpinan Kostrad untuk mengerahkan pasukan tanpa tanda pengenal di sekeliling Istana, menurut Kepala Staf Kostrad waktu itu, Kemal Idris, guna mencoba menangkap Subandrio serta mengawasi gerakan pasukan Cakrabirawa. Di samping itu, pengerahan sekitar 200 orang pasukan RPKAD dan Kostrad tanpa tanda pengenal itu,juga untuk melindungi aksi-aksi mahasiswa dan pemuda. “Pak Harto sudah berpesan pada saya, supaya melindungi anak-anak muda tersebut dari serangan Cakrabirawa,”ujar Kemal Idris, waktu itu Kepala Staf Kostrad. Menurut Kemal, Jenderal Soeharto menaruh harapan pada anak-anak muda yang mendemonstrasi kepemimpinan Bung Karno tersebut. Kemal saat itu dianggap dekat dengan para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI. Kepala Staf Kostrad itu juga ditugasi memimpin semua pasukan yang ada di Jakarta. “Terutama dari Angkatan Darat, mengingat KKO dan Angkatan Udara waktu itu tidak bisa dipercaya.
Memang dari Angkatan Darat sendiri juga ada yang terlibat G-30-S/PKI tapi bisa kami atasi,” kata Kemal. Amir Machmud, sebagai Pangdam V Jaya, ketika itu membawahkan pasukan teritorial, tapi secara operasional di bawah Kemal Idris. Sedangkan Umar Wirahadikusumah, sebagai Panglima Kostrad, berada di atas Kemal. Meski dengan berbagai cara berusaha menekan Bung Karno, menurut penegasan sejumlah tokoh AD, saat itu tidak ada maksud Angkatan Darat untuk menjatuhkan Presiden Soekarno.
Tekanan tersebut tampaknya untuk mendesak Presiden Soekarno agar segera melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa G-30-S/PKI dengan secara formal membubarkan PKI. Namun, Bung Karno waktu itu selalu mengatakan: selama keadaan dalam negeri belum lagi tenang, ia susah untuk mengambil keputusan tentang penyelesaian politik itu. Misalnya dalam pidatonya 23 Januari 1966, Bung Karno berkata, “Aku berulang-ulang minta tenang, tenang, dan apa yang kita lihat dan apa yang kita saksikan? Tenang tenang ini tidak ada, mana pula belakangan ini timbul demonstrasi macam-macam.” Di dalam konstelasi politik saat itu, Angkatan Darat merupakan kekuatan yang menentukan. Posisi sepuluh parpol yang ada waktu itu kurang kuat, terutama karena sebagian besar pimpinannya dinilai pernah bekerja sama dengan PKI. Sikap mereka ketika itu, oleh pihak mahasiswa, dianggap plintat-plintut dan menentang aksi mahasiswa.
Pada 10 Maret, seusai pertemuan dengan Presiden Soekarno di Istana Merdeka, misalnya, para pimpinan parpol mengeluarkan pernyataan yang tidak bisa membenarkan cara yang digunakan pelajar, mahasiswa, dan pemuda “yang bisa membahayakan jalannya revolusi dan merongrong kewibawaan PBR Bung Karno.” Mereka juga bertekad bulat “untuk melaksanakan tanpa reserve” perintah harian Presiden Soekarno 8 Maret. Perintah harian itu sendiri pada pokoknya memerintahkan pada seluruh slagorde ABRI, parpol, Golkar, dan ormas untuk “mempertinggi kewaspadaan menghadapi segala macam penyusupan dan hasutan yang bermaksud memecah belah persatuan.” Di samping itu, juga “menghancurkan segala usah yang merongrong kewibawaan, kepemimpinan dan kebijaksanaa PBR/Presiden/Mandataris MPRS Bung Karno.” Meski begitu, sebagian kecil pimpinan parpol, terutama yang bergabung dalam Komando Aksi Pengganyangan Gestapu, bekerja sama dengan mahasiswa dan pemuda dan AD, menentang Presiden Soekarno.
Hingga sampailah hari itu, 11 Maret 1966. Bung Karno, yang tampaknya panik oleh kehadiran “pasukan tak dikenal” di sekitar Istana, menyingkir ke Bogor. Sidang kabinet kemudian dibubarkan Waperdam Leimena. Keluar dari Istana, kebetulan Basoeki Rahmat, M. Jusuf, dan Amir Machmud berjalan bersama. Jusuf mengajak keduanya untuk pergi menemui Bung Karno di Bogor dan berbincang-bincang, sehingga Bung Karno tidak merasa telah ditinggal Angkatan Darat. Keduanya bersedia. Menteri/Wakil Menko Hankam Mayjen Mursid, yang waktu itu hadir dan ikut diajak, menolak. Menurut Amirmachmud, ia mengusulkan agar mereka melapor dulu ke Pak Harto. Bertiga mereka kemudian pergi ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Hari itu kesehatan Pak Harto terganggu hingga tidak dapat menghadiri sidang kabinet. “Pada waktu menghadap Pak Harto itu, kami menjelaskan jalannya sidang kabinet. Kemudian kami meminta izin kepada Pak Harto untuk pergi ke Bogor dengan maksud untuk menenteramkan Bung Karno,” cerita Amir Machmud. Mereka juga menanyakan apakah Pak Harto ada pesan yang perlu disampaikan pada Bung Karno.
Menurut Amir Machmud, Pak Harto waktu itu mengatakan, “Pertama, sampaikan salam saya kepada Bung Karno. Kedua Bung Karno tak usah khawatir. Kita sanggup menyelamatkan Pancasila, UUD 1945, menyelamatkan Revolusi Indonesia dan memelihara keamanan, asal diberi kepercayaan untuk itu.” Jadi, ‘kata Amir Machmud, Pak Harto tidak pernah membicarakan kemungkinan adanya surat perintah seperti Supersemar itu.
Sikap Soeharto kepada Soekarno waktu itu memang menunjukkan sikap anak kepada bapak. Itu juga terlihat dari suatu dialog antara Pak Harto, yang waktu sudah diangkat menjadi Pangkopkamtib, dan Bung Karno, di Istana Merdeka, di awal 1966, di saat demonstrasi mahasiswa mewarnai suasana Jakarta. Waktu itu Bung Karno menanyakan pada Pak Harto,:
“Harto, aku ini akan kamu apakan? Aku ini pemimpinmu. Aku iki arep tok kapakke”
“Bapak Presiden,” jawab Pak Harto, “saya ini anak petani miskin.’Tetapi ayah saya selalu mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkan untuk mikul duur mendem jero (menghormat) terhadap orangtua.”
“Bagus,” jawab Bung Karno.
“Bapak tetap saya hormati, seperti saya menghormati orangtua saya. Bagi saya, bapak tidak hanya pemimpin bangsa, tetapi saya anggap orangtua saya. Saya selalu ingin mikul dulaur terhadap Bapak. Sayang, yang mau dipikul duvur mendem jero tidak mau,” kata Pak Harto.
“Betul begitu, To?”
“Betul, Pak. Insya Allah. Soalnya tergantung Bapak.”
“Nah. Kalau betul kau masih menghormati aku dan menghargai kepemimpinanku, kuperintahkan kau menghentikan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa itu. Aksi-aksi mereka sudah keterlaluan. Tidak sopan. Liar. Mereka sudah tidak sopan dan hormat kepada orang tua. Mereka tidak bisa dibiarkan, Harto. Kau, kuminta mengambil tindakan terhadap mereka.”
“Maaf, Pak. Saya pikir, masalah ini berkenaan dengan pembenahan negara kita secara keseluruhan. Yang saya maksud, penyelesaian politik mengenai G-30-S/PKI seperti yang Bapak janjikan. Kalau sekarang Bapak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa PKI dibubarkan dan dilarang, saya percaya mahasiswa itu akan menghentikan aksi-aksinya. Karena itu yang dituntut oleh mereka.”
“Penyelesaian politik G-30-S/PKI lagi yang kau sebut, Harto. Kamu tadi mengatakan tetap menghormati kepemimpinanku.”
“Tak pernah goyah, Pak.”
“Kalau begitu, laksanakan perintahku,” kata Bung Karno. Pak Harto tidak menjawab. Bung Karno juga terdiam.
Menilik dialog semacam itu, bisa dimengerti kalau Bung Karno juga meledak-ledak ketika tiga jenderal, Basoeki Rahmat, Jusuf, dan Amir Machmud, menemuinya, siang 11 Maret 1966 itu. Ia memarahi Amir Machmud, yang selalu melapor bahwa keadaan aman.
“Apanya yang aman? Demonstrasi berlangsung terus. Kau itu penanggung jawab keamanan Ibu Kota. Apa yang kau lakukan untuk menghentikan demonstrasi itu?” Ia juga menegur Basoeki Rahmat dan Jusuf.
“Kalian juga tidak berbuat apa-apa.” Ia menuduh ketiga jenderal itu berpura-pura, dan sebenarnya ingin agar Soekarno jatuh.
Mereka bertiga membantah. Kata Basoeki Rahmat, “Itu tidak benar, Pak. Tidak ada niat meninggalkan Bapak. Apalagi menjatuhkan Bapak. Kalau ada niat seperti itu, tentu kami tidak datang kemari.” Bung Karno terdiam. Ia kemudian menanyakan kemungkinan jalan keluar situasi. Jusuf menyarankan agar Bung Karno memerintahkan Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan.
Amir Machmud menambah, “Ya, Pak. Tadi Pak Harto juga berpesan sanggup mengatasi keadaan, kalau Bapak Presiden memberikan kepercayaan kepadanya.”
Kepercayaan? Kepercayaan apa lagi yang harus kuberikan kepadanya? Jenderal Soeharto sudah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Tapi coba, sampai sekarang tidak aman dan tidak tertib,” jawab Bung Karno.
“Mungkin diperlukan kepercayaan lebih lagi, Pak,” kata Amirmachmud.
“Kepercayaan lebih bagaimana? Apa maksudmu? “
“Semacam surat perintah, misalnya,” sahut Amir Machmud. Soekarno terdiam.
Matanya menatap tajam ketiga jenderal itu. Juga kepada Sabur, yang ikut hadir di situ. Akhirnya Bung Karno setuju. Keempat jenderal itu diperintahkannya membuat konsep surat perintah itu. Selembar kertas disodorkan ke Basoeki Rahmat. Jenderal kelahiran Tuban, Ja-Tim, yang dikenal pendiam itu lalu mengeluarkan pena. Ia mengucapkan“Bismillahirrochmanirrohim” lalu mulai menulis.
Surat Perintah. Itu kalimat pertama yang ditulisnya. Konsep itu kemudian disampaikan Sabur kapada Bung Karno. Ia lalu memanggil ketiga Waperdam, Subandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh, yang sudah ada di Istana Bogor, dan menanyakan pendapat mereka. Hanya Subandrio yang menjawab, “Kalau Bapak tanda tangani, buntutnya akan panjang.” Mungkin karena tidak memperoleh kesepakatan bulat di antara para pembantu dekatnya, Bung Karno masuk ke kamar kerjanya. Waktu itu ia sudah memakai piyama biru dan memakai sandal Bata warna cokelat. Konon, ia sempat sembahyang. Sekitar satu jam Soekarno berada di kamar kerjanya. Setelah satu jam, konsep awal tadi sudah ada coretannya, dan dikembalikan kepada ketiga jenderal tersebut. Basoeki Rahmat kembali membuat konsep baru, yang kemudian disampaikan Sabur kepada Bung Karno.
Akhirnya mereka berkumpul lagi di salah satu ruangan yang lebih besar.Pada pertemuan ini, Bung Karno telah memakai pakaian lengkap, baju putih. Lengan pendek, celana abu-abu, dan memakai pici. Yang hadir: ketiga jenderal tadi, tiga waperdam, dan Sabur yang tetap berdiri. Suasana agak tegang. Hasil rembukan itu diketik Sabur dengan kertas yang berkop Kepresidenan RI. Akhirnya mereka berkumpul di ruang makan Istana. Bung Karno membaca ketikan konsep yang telah disetujui bersama.“Bagaimana, Ban, kau setuju?” tanya Bung Karno pada Subandrio. “Kalau Bapak Presiden sudah setuju, saya setuju,” jawab yang ditanya. Bung Karno kemudian menandatangani surat perintah yang kemudian sangat terkenal itu.
Setelah itu mereka kembali ke pavilyun Istana. Di ruang tamu, mereka mengobrol sejenak. Bung Karno didampingi Hartini duduk di sofa panjang, sedang ketiga jenderal duduk di depan mereka. Leimena duduk di sebelah kiri Bung Karno, sedang Subandrio dan Chaerul Saleh duduk di kanan Hartini. Sabur tetap berdiri. Di ruangan yang tak berjendela itu, semua pintunya dibuka. Muka-muka yang hadir tampak serius. Tak berapa lama, ketiga jenderal itu mohon diri, memberi hormat dan kemudian bersalaman dengan Bung Karno. Sepulang ketiga jenderal itu, Soekarno masih sempat membaca di ruang tamu.
Sekitar pukul 23.00 ia masuk kamar tidur. Di kamar tidur ia masih juga sempat membaca majalah Selecta. Tapi ia tampak gelisah. Sampai pukul 1.00 ia belum tertidur.“Bapak membolak-balikkan badannya ke kiri, ke kanan,” kata Ny. Hartini mengenang. Setelah minum obat tidur, barulah Bung Karno terlelap.
Dalam perjalanan pulang dari Bogor dengan naik mobil, ketiga jenderal itu sempat membaca kembali Supersemar dengan menggunakan senter. Ketiganya kaget setelah menyadari surat perintah itu berarti penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Supersemar memang berisi pelimpahan wewenang kepada Jenderal Soeharto “untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Pangti/PBR/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan negara RI, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran PBR”.

Esoknya, Jenderal Soeharto, atas nama Presiden, mengeluarkan perintah harian kepada segenap jajaran ABRI dan mengumumkan kelahiran Supersemar. Perintah harian itu lalu disusul dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS/PBR Nomor 1/3/1966. Isinya: membubarkan PKI termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah serta semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya. PKI juga dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh RI. Akhirnya tuntutan rakyat agar PKI dibubarkan terlaksana. Berita itu segera tersebar. Bukti bahwa masyarakat menyambut gembira keputusan itu terlihat dari sambutan massa terhadap pawai kemenangan yang terjadi 12 Maret 1966 itu. Masyarakat di seluruh Indonesia juga menyambut meriah keputusan itu. Dan awal sebuah sejarah baru pun dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar