I. Sekitar Kelahiran GMNI
Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI),” lahir dari peleburan (fusi)tiga organisasi Mahasiswa yakni:
a.Gerakan Mahasiswa Marhaenis (berkedudukan di Yogyakarta)
b.Gerakan Mahasiswa Merdeka (berkedudukan di Surabaya)
c.Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (berkedudukan di Jakarta).
Bermula pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) mengadakan pergantian pengurus. M Syarif yang menjabat Ketua Umum GMDI diganti oleh Muchsin Hadiprabowo. Pada rapat perdana Pengurus GMDI yang dipimpin oleh M Hadiprabowo di gedung Pola (gedung Proklamasi) di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan tiga organisasi yang sama-sama berazas Marhaenisme ajaran Bung Karno dalam satu wadah.
Keinginan tersebut disambut positif oleh pimpinan dua organisasi lainnya yakni, Gerakan Mahasiswa Merdeka dan Gerakan Mahasiswa Marhaenis.Sebagai tindak lanjut, makapada akhir bulan September 1953 pimpinan dari tiga organisasi tersebut mengadakan pertemuan pendahuluan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya, R Soediro,[2] di Jalan Taman Surapati Jakarta.
Pimpinan tiga organisasi yang hadir adalah:
a.Dari Gerakan Mahasiswa Merdeka: Slamet Djajawidjaja, Slamet Rahardjo danHeruman.
b.Dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis: Wahyu Widodo, Bagio Masrukin, Sri Soemantri Martosuwignyo
c.Dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia: M Hadiprabowo, Djawadi Hadipradoko dan Soelomo.
Dalam rapat ini disepakati:
1.Setuju mengadakan fusi.
2.Nama organisasi adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
3.Azas organisasi adalah Marhaenisme.
4.Status organisasi Independen.
5.Kongres pertama diadakan di Surabaya enam bulan kemudian.
Presiden Soekarno merestui rencana fusi tiga organisasi mahasiswa untuk membantuk organisasi baru. Rencana tersebut terwujud. Padatanggal 22 Maret 1954 Kongres I GMNI berlangsung di Surabaya.Tanggal pembukaan Kongres I GMNI ini kemudian ditetapkan menjadi Hari Lahir GMNI.[3]M Hadi Prabowo terpilih menjadi Ketua Umum DPP GMNI dan Soelomo sebagai Sekretaris Jenderal.
II. Konsolidasi Struktural
Terbentuknya GMNI disambut positif oleh kaum nasionalis marhaenis, sebagai diharapkan dapat berperan dalam penggalangan kekuatan nasionalis menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955. Tampak, ada dua alasan (harapan) yang mendorong kuatnya dukungan warga nasionalis-marhaenis terhadap konsolidasi GMNI:
Pertama:GMNI diharapkan menjadi ujung tombak bagi kaum nasionalis-marhaenis dalampertarungan ideologi, pemikiran, gagasan dan penggalangan pendukung di lingkungan perguruan tinggi.Hal ini dipandang penting, karena pada saat itu terjadi beberapa perbedaan pendapat dan sikap politik diantara kelompok politik yang ada, antara lain
a.Kelompok/aliran politikyang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan ideology lain.
b.Perbedaan pendapat tentang bentuk negara, antara negara kesatuan (unitaris) dengan negara serikat (federalis).
c.Perbedaan dalam menyikapi situasi perang dingin (cold war) antara blok barat (Amerika Serikat dan sekutunya) melawan blok barat (Uni Soviet dan sekutunya).
d.Perbedaan pendapat antara mereka yang menganggap “Revolusi sudah selesai” dengan yang berpendapat “Revolusi belum selesai.”
Kedua, GMNI diharapkan dapat memperkuat penggalangan pemilih di kalangan generasi muda untuk memenangkan Pemilihan Umum 1955. Karena itu ada niat pimpinan PNImenjadikan GMNI sebagai bagian dari strukturpartai. Upaya tersebut ditolak oleh GMNI yang lebih memilih status independen. Hal ini sempat memicu ketegangan antara GMNI dengan pimpinan PNI (bantuan finansial dari PNI kepada GMNI dihentikan). Namun ketegangan tersebut tidak mengurangi kebersamaan dalam memenangkan Pemilu 1955. Sikap GMNI yang juga diikuti oleh ormas-ormas marhaenis lainnya, memaksa para elite PNI mengakomodasi kehadiran ormas dalam penentuan garis-garis politik partai, dan dalam Pemilu 1955 PNI harus menyertakan predikat “Front Marhaenis” sehingga menjadi PNI/Front Marhaenis.[4]
Kongres II GMNI
Satu tahun setelah Pemilihan Umum 1955, GMNI menyelenggarakan Kongres II di Bandung tahun 1956. Konsolidasi dan pengembangan struktur organisasi menjadi agenda utama pembahasan di dalam kongres. Selain itu, juga pengembangan kiprah peran, terutama konsekuensi keikutsertaan GMNI mengenai kerjasama politikdalam Front Marhaenis. Untuk keseragaman, pimpinan PNI/Front Marhaenis menghendaki agar semua ormas yang terlibat dalam Front Marhaenis mengubah nama dengan predikat “marhaenis.”Ormas-ormas Marhaenis seperti Gerakan Pemuda Demokrat pun berubah menjadi Gerakan Pemuda Marhaenis, Gerakan Wanita Demokrat menjadi Gerakan Wanita Marhaenis, Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI) berubah menjadi Kesatuan Buruh Marhaenis.
GMNI menolak permintaan pimpinan PNI/Front Marhaenis untuk ,mengubah nama dan tetap mempertahankan nama GMNI. Sebagai organisasi mahasiswa, GMNI kian menunjukkan sikap radikal dan mulai mewarnai sikap politik PNI/Front Marhaenis. Apalagi, dengan sikap radikal, GMNI mulai tertarik masuk wilayah politik sebagai bagian dari PNI. Pada Kongres II di Bandung terjadi perubahan komposisi personalia DPP GMNI. Ketua DPP GMNI. Ketua Umum DPP GMNI dijabat oleh Bambang Kusnohadi, Sekretaris Jenderaldijabat oleh Martono Martonagoro. Anggota DPP GMNI yang baru antara lain John Lumingkewas dan Sutamto Dirdjosuparto.
Sejak itu konsolidasi struktural organisasi semakin ditingkatkan dengan pembentukan cabang-cabang baru di berbagai kota, berbarengan dengan peningkatan kiprah peran GMNI di lingkungan perguruan tinggi. Di lingkungan internal Front Marhaenis, GMNI berusaha memberikan penekanan terhadap aspek ideologis untuk membangun kehidupan pergerakan yang radikal sebagaimana diharapkan oleh Bung Karno. Hubungan antara GMNI dan Bung Karno semakin intens melalui Roeslan Abdu Gani yang kemudian ditetapkan sebagai “Penasehat Agung GMNI.”
Menjelang pelaksanaan Kongres III GMNI menyelenggarakan Konperensi Besar Keputerian GMNI, bulan Perbruari1959 di Kaliurang. Dalam amanatnya padakonperensi tersebut yang berjudul “Hilangkan Steriliteit Dalam Gerakan Mahasiswa,” Bung Karno menyambut gembira sikap GMNI yang memilih Marhaenisme sebagai azas dan tujuan perjuangan. Secara garis besar ia juga menjelaskan pengertian Marhaenisme. Bung Karno juga menantang GMNI agar menjalankan Marhaenisme secara konsekuen dalam tindakan nyata. Tantangan Bung Karno ini disambut GMNI dengan merumuskan “Pedoman Arah Pejuangan Organisasi,” yang kemudian ditetapkan di dalam Kongres IIIGMNI.
II. Pamor GMNI Semakin Bersinar
Kongres III GMNI
Tahun 1959, GMNI menyelenggarakan Kongres III di Malang Jawa Timur. DPP GMNI masih diisi figure lama yakni. Bambang Kusnohadi sebagaiKetua Umum. Sutamto Dirdjosuparto dan John Lumingkewas menjadi Ketua I dan Ketua II, H A Sudjendro dan Kusbandar Azis sebagai anggota.
Agenda yang dibahas dalam Kongres III juga semakin luas, tidak hanya persoalan internal GMNI, tapi masalah kenegaraan, kemasyarakatan bahkan perkembangan politik internasional. Hal ini sesuai dengan amanat Bung Karno agar GMNI dapat berperan sebagai kader bangsa terutama dalam penerapan Manipol/Usdek. Memang, saat itu eksistensi peran GMNI semakin dikenal masyarakat luas karena melalui distribusi kader, banyak kader/aktivis GMNI menjadi pemimpin baik di organisasi intra kampus, maupun di ormas-ormas pada umumnya, bahkan ada juga yang jadi pemimpin di birokrasi pemerintahan dan lembaga legislatif.
Pedoman Arah Perjuangan Organisasi yang disusun oleh GMNI oleh Kongres III direkomendasikan agar berlaku bagi PNI/Front Marhaenis serta ormas-ormasnya.
Memang sejak Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 tanggal 5 Juli 1959, bintang GMNI kian bersinar. Di internal PNI/Front Marhaenis, GMNI selain menjadi sumber kader pimpinan bagi partai dan ormas-ormasnya, juga dipercaya merumuskan garis-garis perjuangan PNI/Front Marhaenisyang dikenal dengan “Deklarasi Marhaenis.”[5] Dalamproses perumusan konsepsi-konsepsi pelaksanaan ideologi, GMNI berhubungan erat dengan Badan Pembinaan Jiwa Revolusi yang diketuai oleh Dr. Roeslan Abdul Gani yang kala itu dikenal sebagai Jubir Usman (Juru Bicara Usdek/Manipol), dan GMNI telah memutuskannya menjadi Penasehat Agung GMNI.
Akibat dari besarnya pengaruh GMNI baik di dalam internal PNI/Front Marhaenis maupun di dalam kehidupan politik mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, GMNI terdorong masuk semakin dalam ke dunia politik praktis. Di mata publik, GMNI kian tidak terpisahkan dengan PNI/Front Marhaenis, dan juga dengan Bung Karno. Pamor GMNI yang kian bersinar mengkilap mendorong semakin banyak mahasiswa masuk GMNI sehingga menjadi ormas mahasiswa terbesar dalam jumlah keanggotaan. Tentu ada berbagai motif mendorong mahasiswa masuk GMNI, termasuk untuk memperoleh kenikmatan kekuasaan.
Kongres IV GMNI
Saat berada dipuncak kejayaannya, GMNI menyelenggarakan Kongres VI pada tahun 1962 di Yogyakarta. Bambang Kusnohadi kembali terpilih menjadi Ketua Umum DPP GMNI. Anggota DPP GMNI lainya adalah Waluyo Martosugito, John Lumingkewas, Lucien Pahala Hutagaol, Sutamto Dirdjosuparto danKartjono.Kartjono yang saat itu menjabat Ketua DPC GMNI Jakarta Raya, disepakati untuk menjadi Sekretaris Jenderal DPP GMNI.
Agenda yang dibahas dalam Kongres IV selain penyempurnaan AD/ART GMNI yang disesuaikan dengan kiprah perannya yang kian dominan di internal PNI/Front Marhaenis, juga pemantapan Program-Program Perjuangan Organisasi.Distribusi kader semakin menjadi perhatian untuk mengisi berbagai peluang yang semakin terbuka luas. Hal ini dimungkinkan antara lain karena HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang menjadi pesaing berat GMNI, semakin tertekan oleh manufer PKI dengan ormas-ormasnya.[6]
Kader/aktivis GMNI mendominasi dunia kemahasiswaan. Ketua Umum GMNI, Bambang Kusnohadi terpilih menjadi Ketua PPMI (Persatuan Perserikatan-perserikatan Mahasiswa Indonesia),[7] wadah berhimpunnya ormas-ormas Mahasiswa. John Lumingkewas Wakil Ketua DPP GMNI juga menjabat Wakil Sekretaris Jenderal DPP PNI. Lucien Pahala Hutagaol, menjadi Asisten Menteri Pembinaan Jiwa Revolusi, Roeslan Abdul Gani, Bambang Harianto,[8] menjabat Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, Zainal Abidin dan Simon Tiranda memimpin Gerakan Pemuda Marhaenis, Kartini Soedjendro di Gerakan Wanita Marhaenis.
Tahun 1963 ( 20-24 Juli) GMNI menyelenggarakan Konperensi Besar dan Seminar Keputerian di Jakarta dihadiri oleh utusan dari 34 Cabang GMNI se Indonesia (dari Banda Aceh hingga Soekarnopura[9])
IV. GMNI Di Tengah Badai
Dampak Gestok Bagi GMNI
Dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1964, Presiden Soekarno mengingatkan seluruh bangsa Indonesia tentang kemungkinan adanya sabotase terhadap jalannya revolusi Indonesia. Pidato kenegaraan itu diberi judul “Tahun Vivere Pericoloso (Tahun Hidup Menyerempet Bahaya).”Merespon peringatan Bung Karno ini, GMNI terus melakukan konsolidasi. Berbagai program telah dirancang dan akan dimatangkan pada Kongres V GMNI yang direncanakan akan diadakan di Jakarta pada tahun 1965.
Sebelum masuk pada pelaksanaan Kongres V, tahun 1965 GMNI telah menyelenggarakan Musyawarah Besar GMNI di Pontianak Kalimantan Barat. Tapi pada 1 Oktober 1965 terjadi penculikan disertai dengan pembunuhan terhadap sejumlah perwira TNI Angkatan Darat. Bung Karno menyebut peristiwa ini “Gestok (Gerakan 1 Oktober 1965).” [10] Peristiwa ini menyulut terjadinya kegoncangan politik luar biasa yang menempatkan Bung Karno pada posisi sulit.Bahkan, setelah11 Maret 1966, Presiden Soekarno dipaksa menyerahkan sebagian kewenangannya kepada Jenderal Soeharto.
Hal tersebut kemudian disusul dengan penangkapan kepada anggota GMNI karena dianggap sebagai pendukung setia Presiden Soekarno. Di berbagai perguruan tinffi dilakukan screening, untuk menilai kepada siapa seorang anggota GMNI berpihak. Hanya yang benar-benar menyatakan ikut Orde Baru diberi kesempatan melanjutkan kuliah. Bagi yang masih diragukan dikenai skorsing, sedangkan bagi mereka yang loyal kepada Bung Karno langsung dipecat.[11]
Menghindari tindakan represif rejim Orde Baru, banyak anggota GMNI untuk sementara waktu memilih pindah kuliah di kota lain.[12] Hanya kader-kaderyang tangguh mampu bertahan menghadapi tekanan berat Orde Baru.[13]
PNI/Front Marhenis Pecah
Pernyataan dukungan dariSekretaris Jenderal DPP PNI, Ir. Soerachman kepada Gestok menjadi alasan bagi tentara maupun pihak anti Soekarno lainnya untuk menghantam PNI/Front Marhaenis termasuk GMNI. Situasi politik yang tak menentu ini kemudian menyulut perpecahan di dalam tubuh DPP PNI/Front Marhaenis yakni antara kelompok Ketua Umum PNI, Ali Sastroamidjojo disatu pihak (yang menyatakan diri tetap mendukung Bung Karno) dengan kelompok Hardi dan kawan-kawan pada pihak lain (yang ikut mendukung upaya pembersihan politik dari anasir komunis dan dan yang sejalan dengan itu).
Kelompok Hardi kemudian membentuk DPP PNI/FMdi luar DPP PNI/FM pimpinan Ali Sastroamidjojo, dengan Osa Maliki sebagai Ketua Umum dan Usep Ranawidjaja sebagai Sekretaris Jenderal. Dukungan tentara terhadap DPP PNI Osa-Usep menyebabkan kelompok Ali –Surachman terdesak.
Presidium GMNI Ditahan
Akibat terjadi Gestok,maka Kongres V di Jakarta tahun 1965 terlaksana. Bahkan, karena banyak pimpinan GMNI juga merangkap jabatan dalam struktur pimpinan PNI/Front Marhaenis versi Ali-Surachman menyebabkan posisi GMNI jadi sulit. Ketua Umum Presidium GMNI Bambang Kusnohadi, Wakil Ketua Sutamto Dirdjosuparto, Wakil Ketua, John Lumingkewas,[14] Sekretaris Jenderal Presidium GMNI/Ketua DPC GMNI Jakarta Raya, Kartjono akhirnya diciduk tentara dan ditahan di penjara Salemba bersama pimpinan ormas-ormas PNI/FM lainnya selama 7 tahun tanpa proses pengadilan.
Care Taker DPP GMNI
Dalam situasi tanpa pemimpin, GMNI tetap tegar membela Bung Karno sehingga sering terlibat bentrokan dengan kelompok mahasiswa lainnya yang anti Soekarno. Tekanan terhadap GMNI dari waktu ke waktu semakin kuat. Banyak anggota GMNI ditahan, dan dikeluarkan dari perguruan tinggi. Bahkan ada yang mati terbunuh. Untuk mengisi kekosongan kepemimpinan GMNI, DPP PNI/Front Marhaenis (yang kemudian diubah menjadi PNI/Massa Marhaen), membentuk “Care Taker DPP GMNI,” dengan susunan sebagai berikut
Ketua Umum: Drs. Soerjadi[15]
Ketua : Agus Darmawan[16]
Ketua : Aberson Marle Sihaloho[17]
Sekretaris Jenderal : Budi Hardjono[18]
Wakil Sekretaris Jenderal : Abdulhamid Notowidagdo[19]
Bendahara : Sri Hartati Wulandari Hadi Soebeno[20]
Wakil Bendahara : Narwan Hadisardjono[21]
Mengikuti garis politik DPP PNI/Massa Marhaen pimpinan Osa Maliki-Usep Ranawidjaja, Care Taker DPP GMNI juga ikut dalam barisan pendukung Orde Baru, bahkan ikut bergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang aktif berunjuk rasa dengan menyuarakan Tri Tura (Tiga Tuntutan Rakyat). Sikap politik DPP GMNI Care Taker yang memilih menyatu dalam Orde Baru memang menimbulkan kebingungan di kalangan anggota.Sebagian tetap melancarkan konfrontasi terhadap KAMI serta elemen pendukung Orde Baru lainnya (KAPI, KAPPI, dan sebagainya), sebagian lagi ikut dalam aksi-aksi yang dilakukan KAMI. Arief Rahman Hakim, mahasiswa Universitas Indonesia misalnya, adalah anggota GMNI yang ikut unjuk rasa bersama KAMI, yang tewas tertembak aparat keamanan dan kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Ampera.
Perpecahan yang terjadi di dalam GMNI, serta sikap represif tentara dibawah kendali rejim Orde Baru membuat GMNI nyaris lumpuh. Banyak anggota GMNI putus sekolah, dan tidak berani mengaku dirinya anggota GMNI. Dalam situasi yang tidak menguntungkan ini, GMNI akhirnya dapat juga menyelenggarakan Kongres V pada tahun 1969 di Salatiga Jawa Tengah.[22]
Pada Kongres V di Salatiga ini, Care taker DPP GMNI dikukuhkan menjadi Presidium GMNI[23] defintif dengan susunan sebagai berikut:
Ketua Umum: Drs. Soerjadi
Ketua : Imam Santoso
Ketua : Aberson Marle Sihaloho
Sekretaris Jenderal : Budi Hardjono
Wakil Sekretaris Jenderal : Abdulhamid Notowidagdo
Bendahara: Sri Hartati Wulandari
Wakil Bendahara : Narwan Hadisardjono
V. Kibarkan Panji Independensi
Beratnya tekanan yang dihadapi oleh GMNI mendorong para pimpinan/kader dan aktivis GMNI mengevaluasi diri untuk menemukan akar penyebab masalah. Dari proses evaluasi itu disimpulkan bahwa hebatnya badai politik menghujam GMNI disebabkan oleh: a. GMNI sebagai organisasi mahasiswa telah terlibat terlalu dalam dalam kancah perpolitikkan nasional. GMNI telah telah menjelma menjadi organisasi politik berjubah PNI/Front Marhaenis;
b. Bahwa hal tersebut terjadi karena GMNI secara utuh menempatkan diri sebagai bagian dari struktur partai politik dalam hal ini PNI/Front Marhaenis;
c. Seiring dengan menguatnya tekanan rejim Orde Baru terhadap partai-partai politik kearah penyederhanaan jumlah partai politik, maka pada saatnya GMNI bisa hilang tergilas oleh arus perubahan politik;
d. Agar eksistensi GMNI dapat terpelihara, maka GMNI harus kembali pada jatidirinya yakni sebagai organisasi mahasiswa yang “independen.”
Gagasan untuk GMNI kembali independen, lepas dari ikatan struktural PNI/Front Marhaenis [24]mulai muncul terdengar dalam Kongres V GMNI di Salatiga. Hal Ini jelas mengundang reaksi negatif dari pimpinan PN/Massa Marhaen. Namun keinginan tersebut kian menguat sesudah kongres dan disambut baik para aktivis GMNI di berbagai daerah. Tapi ketika tuntutan agar GMNI kembali independen, lepas dari PNI dinyatakan secara resmi oleh beberapa pimpinan.aktivis GMNI Jakarta yang dimotori oleh Heru Baskoro[25], langsung ditanggapi dengan keras oleh DPP PNI/Massa Marhaen dengan memecat Hero Baskoro dan kawan-kawan dari keanggotaan GMNI.[26]
Dalam perkembangan berikutnya, wacana tentang GMNI Independen semakin menarik perhatian para pimpinan, kader dan aktivis GMNI di berbarbagai daerah, bahkan mulai mendapat dukungan dari beberapa tokoh PNI. Tampaknya, hal itu terkait dengan upaya penguasa orde baru membangun tatanan politik baru yang cenderung memandulkan partai politik, diawal dasawarsa 1970-an. Substansi strategi politik Orde baru tersebut antara lain:
a.Mengurangi jumlah partai politik dengan mendorong fusi diantara partai politik yang ada.
b.Tatanan politik floating mass (masa mengambang) dengan membatasi struktur pengurus partai hanya sampai pada tingkat kabupaten, dan tidak membolehkan parpol memiliki ormas “onderbouw,” organisasi mantel, dan sejenis.[27]
c.Penguasa berusaha menerapkan pengendalian yang ketat terhadap ormas-ormas pemuda dan mahasiswa dengan menawarkan gagasan pembentukan “Persatuan Pemuda Indonesia,” setelah eksistensi KAMI sulit dipertahankan lagi. Namun gagasan ini mengalami abortus. Sebagai counter concept, maka 4(empat) organisasi mahasiswa membentuk forum Cipayung (GMNI, HMI, GMKI, PMKRI)[28] dan kemudian PMII ikut bergabung sehingga menjadi 5 organisasi. Sebagai langkah kompromi, lima ormas mahasiswa dan ormas pemuda lainnya dengan pemerintah, dibentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). [29]
Terkait dengan gejolak mahasiswa pada paruh pertama dasawarsa 1970-an adalah terjadi Peristiwa Malari ditahun1974. Beberapa anggota GMNI pada saat itu memimpin diintra kampus yang harus berurusan dengan aparat keamanan antara lain, Theo L Sambuaga[30], Wakil Ketua DMUI, John Pangemanan Ketua DM Sekolah Tinggi Olah Raga. Langkah mengembalikan GMNI sebagai organisasi independen semakin diterima banyak pihak, setelah PNI/Massa Marhaen resmi berfusi ke dalam PDI. [31]
Mendekati pertengahan dasawarsa 1970-an, pimpinan, kader dan aktivis GMNI yang ditahan satu persatu mulai dibebaskan. Begitu juga pimpinan ormas marhaenis lainnya. Upaya membangun kembali GMNI terus diupayakan. Disepakati GMNI akan akan mengadakan Kongres VI di Jakarta tahun 1976. Konsolidasi organisasi yang mencakupkonsolidasi struktural, fungsional dan ideologi menjadi agenda utama yang akan dibahas di dalam Kongres VI.Pembukaan Kongres VI[32] dilakukan di Gedung Kebangkitan Nasional, Jalan Abdurachman Saleh Jakarta Pusat, dan selanjutnya semua kegiatan kongres dipusatkan di Wisma Jayaraya Ragunan Jakarta.
Hal penting yang diputuskan pada Kongres VI antara lain:
a.Marhaenisme sebagai azas dan azas perjuangan GMNI tidak dapat diubah atau diganti dengan yang lain.
b.GMNI kembali menjadi organisasi independen dari segala bentuk ikatan, sehingga GMNI tak ada ada ikatan apapun baik langsung maupun tak langsung dengan PNI yang sudah berfusi ke PDI.
c.Pimpinan Pusat GMNI berbentuk Presidium, dan setiap anggota Presidium secara periodik bergantian menjabat Ketua Presidium.
d.Ditetapkan jumlah anggota Presidium untuk masa bakti tiga tahun (1976-1979) sebanyak 13 orang yakni:
- Alwi F As.
- Sunardi, SH
- Jamli T
- Hadi Siswanto
- drs. Med. Sumedi
- I G N Agung Kepakisan
- Darjatmo Mardianto
- Sudarjanto
- Ir. Emma Mukarommah
- Rashandi Rasjad
- Victor Alagan
- Wisnu Subroto
- Karyanto W sekaligus merangkap sebagai Sekjen Presidium.
Banyaknya anggota Presidium didasarkan pada pertimbangan transisi generasi dan penyegaran dalam tubuh GMNI, sehingga Presidium merupakan kombinasi pimpinan/aktivis GMNIdimasa sebelumnya dengan beberapa anggota GMNI yang sedang memimpin dilembaga intra kampus. Misalnya, Darjatmo saat itu menjabat menjabat Ketua Dewan Mahasiswa ITB, Sunardi, Sekjen Dewan Mahasiswa Universitas Trisakti, Karyanto, Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI, Wisnu Subroto, anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UI dan sebagainya.
Keterbatasan, Tarikan dan Tekanan
Dibanding dengan ormas marhaenis yang lain, GMNI adalah yang pertama melakukan konsolidasi organisasi (menyelenggarakan kongres) setelah PNI berfusi ke dalam PDI. Ini berarti GMNI yang paling dulu melakukan restorasi organisasi setelah PNI dan ormas-ormas marhaenis diterpa badai politik sesudah terjadi Gestok. Penegasan kembali jatidiri GMNI sebagai organisasi independen menjadi keharusan dan secara formal hal itu telah ditegaskan dalam Kongres VI GMNI di Jakarta. Konsekuensi yang dihadapi memang tidak mudah.
Pertama, GMNI harus mampu menghidupi dirinya sendiri. Pendanaan, pengadaan fasilitas dan sebagainya mesti diusahakan sendiri. Karena itu, hanya kader-kader yang militan dapat bertahan menghadapi keadaan GMNI yang serba sulit.[33]
Memang, untukkantor/markas organisasi GMNI dapat memanfaatkan gedung milik PNI/Massa Marhaen, bersama-sama dengan ormas marhaenis yang lain, namun karena satu persatu gedung-gedung itu dijual atau berpindah status kepemilikan, maka GMNI harus mencari sendiri tempat untuk kantor/markas organisasi.
Dari validasi dan verifikasi yang dilakukan sesedah Kongres VI,terhadap puluhan cabang GMNI yang ikut kongres, ternyata hanya belasan Cabang GMNI yang benar-benar memenuhi syarat atau mendekati persyaratan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (DPC-DPC: 1. Medan; 2. Palembang; 3. Jakarta Raya; 4. Bogor; 5. Bandung; 6. Yogyakarta; 7. Surakarta; 8. Semarang; 9. Malang; 10. Surabaya; 11. Jember; 12. Denpasar; 13. Samarinda; 14. Balikpapan; 15. Manado. Sedangkan cabang GMNI yang masih perlu pengembangan adalah: 1. Langsa; 2. Garut; [34]
Kedua, GMNI mesti menghadapi berbagai anasir yang belum berubah mindset,masih mengidap pola pandang lama terhadap GMNI.
a.Kelompok yang memandang GMNI sebagai bagian dari Orde Lama karena itu patut diwaspadai atau sedapat mungkin dieleminasi. Bahkan ada yang menyamakan GMNI dengan PKI. Persepsi seperti ini tidak hanya terdapat padakelompok yang dulu menjadi saingan PNI, tapi juga pada sebagian aparat pemerintah. Akibatnya GMNI sering dipersulit mengurus ijin pelaksanaan kegiatan.
b.Kelompok keluarga marhaenis yangberanggapan bahwa kebangkitan kembali GMNI dapat mendorong bangkitnya kembali PNI. Namun setelah sekian lama harapan tersebut tidak terpenuhi,mereka justru mengintervensi GMNI dengan maksud agar GMNI dapat menjalankan peran politik seperti PNI.
c.Kelompok politisi yang berasal warga marhaenis yang aktif di organisasi politik yang ada. Beberapa yang aktif di PDI beranggapan karena dulu GMNI adalah bagian dari PNI, dan PNI berfusi ke PDI maka otomatis GMNI mesti menjadisaya politik PDI. Sebaliknya, karena banyak alumni GMNI dan warga Marhaenis di birokrasi pemerintahan dan juga di Golkar, maka sebaiknya GMNI berorientasi ke Golkar dinilai lebih menjanjikan pengembangan karir bagi anggota GMNI.
d.Para alumni GMNI sendiri yang memerlukan wadah penyaluran aspirasi dan partisipasi sosial politik tidak termasuk pada dua kelompok tersebut. Tentang hal ini ada dua pandangan yakni: a. Membiarkan GMNI menentukan jatidirinya sendiri, terserah kepada anggota GMNI yang masih aktif asalkan eksistensi GMNI tetap terpelihara; b. GMNI mesti menjadi benteng pertahanan ideology Marhaenisme, karena itu kesinambungan GMNI dengan para alumninya mutlak diperlukan. Mengenai bentuk wadah ada dua pilihan: a. Alumni GMNI membentuk organisasi terpisah (seperti KAHMI di HMI) atau ada bagian khusus yang mengelola hubungan dengan alumni dalam lembaga kepemimpinan GMNI dari pusat hingga daerah[35].
Meski didera berbagai keterbatasan, GMNI dapat menyelenggarakan “Kursus Kader Keputerian dan Pers,” tahun 1977 di Kaliurang, yang diikuti pimpinan dan kader GMNI dari berbagai cabang se Indonesia. Kegiatan ini mendapat perhatian dari berbagai pihak karena selain dihadiri oleh Panglima Kopkamtib Sudomo yang dijadikan sinyal keberadaan GMNI tidak dipermasalahkan lagi oleh penguasa. Oleh peserta yang hadir, kehadiran Pangkopkamtib Sudomo justru dimanfaatkan untuk mempertanyakan nasib para anggota GMNI yang kemungkinan masih berada dalam tahanan. Atas pertanyaan itu, Sudomo berjanji akan mengecek dan membebaskannya.
Sebagai organisasi mahasiswa, GMNI jelas ikut terlibat dalam gejolak mahasiswa di tahun 1978 yang menyeret para pimpinan mahasiswa dalam tahanan aparat keamanan. Ada dua anggota Presidium GMNI yakni Alwi F As dan Wisnu Subroto[36] ikut ditahan bersama pimpinan ormas Kelompok Cipayung lainnya. Juga sejumlah anggota GMNI yang memimpin lembaga intra kampus (Dewan dan Senat Mahasiswa), antara Wakil Ketua DMUI, Soekotjo Soeparto, Ketua Senat Mahasiswa FH UI, Muchyar Yara, Ketua Dewan Mahsiswa Universitas Jakarta, Abdul Gani.Mereka ditahan di asrama tentara di Bekasi yang dikenal sebagai “Kampus Kuning.” Hal yang sama juga terjadi di berbagai daerah, sebab pada saat itu banyak anggota GMNI yang memimpin lembaga intra kampus, seperti Lukman F Mokoginta, menjabat Ketua Dewan Mahasiswa Univ. Gajah Mada.
Kisruh Azas Tunggal
Seiring dengan gencarnya Program Pendidikan Penghayatan, Pengamalan Pancasila (P4), wacana tentang penyeragaman azas, yakni setiap ormas harus berazaskan Pancasila, mulai menjadi wacana publik. Polemik antara pendapat yang pro dan kontra terhadap gagasan tersebut berkembang di masyarakat, termasuk di internal GMNI yang sedang bersiap-siap menyelenggarakan Kongres VII dipenghujung tahun 1979.Entah bagaimana asal muasalnya berkembang rumor bahwa pada Kongres VII yang akan diadakan di Medan, GMNI akan mengganti azas dan azas perjuangan GMNI dari Marhaenisme dengan Pancasila.
Sebenarnya, bagi GMNI soal azas Pancasila tidak jadi masalah sepanjang yang dimaksud adalah Pancasila yang dipidatokan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945. Namun, hal ini jadi masalah sebab: a. Pancasila yang jadi materi P4 dinilai kehilangan aspek dinamisnya, sebab berbeda dengan yang dipidatokan oleh Bung Karno; b. Perubahan azas tersebut mesti dicantumkan didalam AD/ART serta penghapusan Marhaenisme dari dokumen organisasi itu.
Dalam pertemuan persiapan menghadapi Kongres VII, Menteri Muda Urusan pemuda, dr. Abdul Gafur mengingatkan (menitipkan) hal ini. Bahkan ia meminta GMNI agar mengubah tema Kongres VII yang mencerminkan gagasan ini. Menyiasati permintaan pemerintah itu, dan untuk menghindari situasi internal GMNI (yang juga telah menarik perhatian warga marhaenis lainnya), Panitia Kongres VII membuat dua versi spanduk dengan tema yang berbeda, satu atas pesanan pemerintah dan yang lain tema hasil rapat internal GMNI (tema: “Berjuang Untuk Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Dengan Menggairahkan Kehidupan Pergerakan”).
Sesuai dengan rencana, Kongres VII GMNI diadakan pada bulan Nopember 1979 di Medan. Acara pembukaan diadakah di hotel Danau Toba, dan secara resmi oleh Wakil Presiden H Adam Malik.Pada Kongres VII ini, GMNI tetap mempertahankan Marhaenisme sebagai azas dan azas perjuangan. Selain itu GMNI juga menegaskan sikap politiknya dalam bentuk “Deklarasi 17 Pasal,” serta program-program konsolidasi yang lebih lengkap.
Kongres VII GMNI juga berhasil menyusun komposisi dan personalia Presidium GMNImasa bakti 1979-1982 yang terdiri dari
.-Ketua Presidium————– Darjatmo Mardianto
-Ketua Komite Politik———Sudarjanto
-Anggota Komite Politik——-Karyanto W
-Ketua Komite Organisasi——Kristya Kartika
-Anggota Komite Organisasi—Lukman Hakim AS
-Anggota Komisi Organisasi –Firman Tamboen
-Sekretaris Jenderal———–Sutoro SB (Kemudian bertukar posisi
dengan Kristya Kartika)
Kembali Retak.
Setelah Kongres VII GMNI meningkatkan konsolidasi. Mengenai pewadahan bagi alumni kembali dibahas dalam Sarasehan GMNI, Alumni GMNI dan para tokoh Marhaenis yang diadakan di Gedung Joang 1945 tahun 1980. Penyelenggarannya DPC GMNI Jakarta Raya. Terjadi perbedaan pendapat yang tajam, meski semua yang hadir pada dasarnya menghendaki GMNI lebih maju dan berkembang.
Bersamaan dengan itu wacana penyeragaman azas terus bergulir. Isu penghapusan Marhaenisme dari AD/ART mulai menjadi topik hangat yang menuai pro kontra di internal GMNI. Sebagian anggota Presidium GMNI terus berusaha meyakinkan basis-basis GMNI bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru itu tidak dapat ditolak. Karena itu sebaiknya GMNI menerima saja. Namun usulan tersebut ditolak keras oleh basis-basis (cabang dan komisariat). Sebagian alumni pun bereaksi mendukung penolakan ini. Atau kalau pun terpaksa menerima, harus dilakukan dengan sebaik mungkin agar tidak menghilangkan Marhaenisme sebagai azas dan azas perjuangan GMNI.
Kebijakan Presidium pada saat itu memang mengundang pertanyaan. Sebab disatu sisi cenderung melunak terhadap keinginan pemerintah, pada sisi lain menawarkan konsep perjuangan yang radikal yakni konsep “paradigma baru perjuangan GMNI,” yang intinya memindahkan medan perjuanganGMNI dari dalam kampus dan dunia intelektual ke luar kampus dan mengambil posisi berseberangan dengan pemerintah.
Untuk mencari titik temu, Presidium GMNI menyelenggarakan Forum Studi Nasional, pada bulan Maret 1981 di Gadog Ciawi. Namun tetap tidak ditemukan titik temu. Kritik dari cabang dan komisariat terhadap Presidium GMNI justru kian menguat. Upaya Presidium GMNI untuk meredam kritik dengan mempengaruhi beberapa fungsionaris di cabang-cabang dan komisariat, justru memicu terjadinya keretakaninternal organisasi.
Konflik internal tampak kian sulit dihindarkan ketika Presidium GMNI menjadikan “penerimaan asas tunggal Pancasila” sebagai syarat bagi cabang GMNIpeserta Kongres VIII. Sedangkan bagi pihak yang menolak dikenai sanksi organisasi berupa pembekuan dan pemecatan.[37]Tapi sanksi yang dijatuhkan oleh Presidium GMNI tidak efektif sebab justru mengundang reaksi balik dari cabang dan komisariat berupa pernyataan terbuka tidak mengakui lagi kepemimpinan Presidium GMNI.
GMNI yang semula solid kini kembali retak, terbelit konflik internal yang terus memanas, sebab masing-masing pihakmendapat dukungan baik dari internal maupun eksternal organisasi.[38]
Rencana penyelenggaraan Kongres VIII GMNI menjadi tidak menentu, sebab disatu pihak Presidium GMNI tetap memaksa agar cabang peserta kongres membuat pernyataan menerima penyeragaman azas, namun cabang-cabang yang menolaknya mengancam akan menyerbu tempat kongres bila hal tersebut tetap dipaksakan. Semula Kongres VIII akan diadakan di Yogyakarta secara diam-diam. Namun perhelatan itu terlacak oleh utusan cabang-cabang yang menolak perubahan azas dan menduduki tempat pelaksanaan kongres. Akibatnya, kongres dibatalkan (diubah menjadi pra kongres), setelah para sesepuh marhaenis seperti Pak Sutardjo Soeryoguritno, Pak Soedarisman Poerwokoesoemo, dan lain-lain tidak setuju penghapusan Marhaenisme dalam AD/ART GMNI dilakukan di Yogyakarta.
Kongres VIII GMNI akhirnya terselenggara setahun kemudian di Lembang Jawa Barat dengan pengawalan ketat aparat keamanandan untuk sementara Marhaenisme terhapus dari dokumen-dokumen organisasi GMNI. Pun demikian, Kongres VIII yang dipaksakan tidak menyelesaikan keretakan di dalam tumbuh GMNI. Dimana-mana terjadi pengurus cabang kembar, bahkan kondisi ini masih terjadi hingga saat ini
Catatan Akhir
Jika dicermati, sejarah pasang surut GMNI sesungguhnya merupakan pergulatan panjang dari organisasi inimenegaskan identitas ataujatidirinya sebagai:
a.Organisasi Pergerakan Mahasiswa yang Nasionalis Marhaenis.
b.Organisasi yang independen, baik struktural maupun kultural
c.Organisasi berwatak radikal, kerakyatan dan kebangsaan.
d.Organisasi yang mengemban misi kepeloporan.
Menegaskan jatidiri tersebut memang tidak mudah, dank e depan akan semakin tidak mudah karena elan kepejuangan di kalangan mahasiswa dan generasi muda pada umumnya semakin tergerus oleh gelombang perikehidupan borjuasi yang menaburkan pesona hedonism, individualism dan konsumerisme.
Namun dengan kesadaran ideologis diharapkan GMNI tetap berani melawan perlakuan semacam ini. Sebab sebagai organisasi perjuangan yang independen, GMNI harus mampu tegak sejajar dengan berbagai kelompok politik atau lingkaran alumni yang ada. Tanpa keberanian menegakan independensi GMNI pasti kehilangan jatidirinya, dan tentu yang tersisa hanyalah abu, bukan api semangat Marhenisme.
Penulis: Paulus Londo
Sumber : Website GMNI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar